Tanpa pikir panjang Abu Nawas memutuskan untuk
menjual keledai kesayangannya. Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas
satu-satunya. Sebenarnya ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu
Nawas amat membutuhkan uang. Dan istrinya setuju.
Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke
pasar. Abu Nawas tidak tahu kalau ada sekelompok pencuri yang terdiri dari
empat orang telah mengetahui keadaan dan rencana Abu Nawas.Mereka sepakat akan
memperdaya Abu Nawas. Rencana pun mulai mereka susun. Ketika Abu Nawas
beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan
berkata,
“Apakah engkau akan menjual kambingmu?” Tentu saja
Abu Nawas
terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba. “Ini bukan kambing.”
kata Abu Nawas.
“Kalau
bukan kambing, lalu apa?” tanya pencuri itu selanjutnya.
“Keledai.”kata Abu Nawas.
“Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke
pasar dan dan tanyakan pada mereka
.” kata komplotan pencuri itu sambil berlalu.
Abu Nawas
tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya.
Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai,
pencuri kedua menghampirinya dan berkata.”Mengapa kau menunggang kambing.”
Kata Abu Nawas “Ini bukan kambing tapi keledai.”
Kata Si Maling “Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti
itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai.”
“Kalau ini
kambing’ aku tidak akan menungganginya.” jawab Abu Nawas tanpa ragu.
“Kalau
engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana.”
kata pencuri kedua sambil berlalu.
Abu Nawas
belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar. Pencuri ketiga datang
menghampiri Abu Nawas,
”Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing
itu?”
Kali ini
Abu Nawas tidak segera menjawab.
la mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan
kalau hewan yang dibawanya adalah kambing.
Pencuri
ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan.
la makin
merecoki otak Abu Nawas,
“Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu
adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing . kambiiiiiing !
” Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat
di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. la duduk di
samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.
“Ahaa,
bagus sekali kambingmu ini…!” pencuri keempat membuka percakapan. “Kau juga
yakin ini kambing?” tanya Abu Nawas.
“Lho? ya
jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing.
Kalau
boleh aku ingin membelinya.”
“Berapa kau mau membayarnya?”
“Tiga
dirham!” Abu Nawas setuju.
Setelah
menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba
di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya.
“Jadi
keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa
keledai itu kambing?
” Abu Nawas tidak bisa menjawab. la hanya
mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol.
Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai
oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya. Abu Nawas merencanakan
sesuatu. la pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tongkat
yang nantinya bisa menghasilkan uang.. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan
lancar.
Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat
Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu
Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas
membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan
tongkatnya.
Mereka
berpikir kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya
dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
Akhirnya
mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, “Apakah tongkatmu akan dijual?”
“Tidak.”
jawab Abu Nawas dengan cuek.
“Tetapi
kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi.
” kata mereka
. “Berapa?” kata Abu Nawas pura-pura merasa
tertarik.
“Seratus
dinar uang emas
.” kata mereka tanpa ragu-ragu.
“Tetapi
tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki.” kata Abu Nawas
sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
“Dengan
uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak.” Kata mereka makin penasaran.
Abu Nawas
diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
“Baiklah
kalau begitu.” kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya.
Setelah
menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri
itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang
baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik
kedai.
Tentu saja pemilik kedai marah. “Apa maksudmu
mengacungkan tongkat itu padaku?”
“Bukankah
Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?
” tanya para pencuri itu. “Benar.
Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas
menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!”
“Gila!
Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah
rugi besar!
” umpat para pencuri dengan rasa dongkol.
Botol Ajaib
Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada
kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan
berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga
dipanggil ke istana.Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas
dengan sebuah senyuman. “Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut.
Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai
pembicaraan.“Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil.”
tanya Abu Nawas.“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.”
kata Baginda.Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih
bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar
angin. Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari
angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa
dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih
dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja.
Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari
hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakin bahwa dengan berpikir akan
terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan
berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang
membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas
menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas
kecerdikannya.Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal
untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari
terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu
Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir;
kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan
perintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya
kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.“Bukankah jin
itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak
girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin
menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana
Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang
menunggu kehadirannya.Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu
Nawas. “Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” “Sudah
Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil
mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol
itu. Baginda menimang-nimang botol itu.“Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya
Baginda. “Di dalam, Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim.“Aku tak
melihat apa-apa.” kata Baginda Raja.“Ampun Tuanku, memang angin tak bisa
dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka
terlebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka
Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.“Bau apa
ini, hai Abu Nawas?!” tanya Baginda marah. “Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba
buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang
hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut
botol.” kata Abu Nawas ketakutan.Tetapi Baginda tidak jadi marah karena
penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas
selamat.
Pintu Akhirat
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba
ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar
istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak. Baginda mulai
keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat
jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah
Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang
alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la
bertanya kepada ulama itu.“Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan
mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula
melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana
cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?” Ulama itu
berpikir sejenak kemudian ia berkata,“Untuk mengetahui yang demikian itu harus
dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia
kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la
juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran
pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur.
Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah
tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah
dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak
mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di
alam barzah?”Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut
mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam
akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar
biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena
barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh
lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang
kembali ke istana.Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas.
Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri“Aku menginginkan engkau sekarang
juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya
tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?”“Sanggup Paduka yang
mulia.” kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan
itu. “Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba
ajukan.”“Sebutkan syarat itu.” kata Baginda Raja.“Hamba morion Baginda
menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya.” “Pintu apa?” tanya
Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat.” jawab Abu Nawas.“Apa itu?” tanya
Baginda ingin tahu.“Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam
mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah
adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam
akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota
di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu.”Mendengar penjetasan Abu
Nawas Baginda Raja terdiam.Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al
Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi, “Masihkah Baginda menginginkan mahkota
dari surga?” Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak
kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.
Asmara Sang Pangeran
Memang
Aneh Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah
banyak tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak seorang
pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh
diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para penduduk
negeri tetangga. Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu
beberapa hari berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka
berhasil mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu
Nawas, menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota. Baginda Harun Al
Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas sadar bahwa dirinya bukan
tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib yang ada di
istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin
diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam Abu Nawas ini bisa mengobati
penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib terkenal dengan peralatan yang
lengkap saja tidak sanggup. Bahkan penyakitnya tidak terlacak. Abu Nawas merasa
bahwa seluruh perhatian tertuju padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu
memperdulikannya. Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar pangeran yang sedang
terbaring. la menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya. Setelah Abu
Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu Nawas berkata, “Saya
membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering mengembara ke pelosok
negeri.” Orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. “Sebutkan satu
persatu nama-nama desa di daerah selatan.” perintah Abu Nawas kepada orang tua
itu. Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas
menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan
agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri
disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah
utara. Raja merasa heran. “Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya.”
“Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia.” kata Abu Nawas. “Tetapi aku belum
paham.” kata Raja. “Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya
bila hamba jelaskan sekarang.” kata Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari.
Sekembali dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu
kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas
menghadap Raja. “Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap
hidup?” tanya Abu Nawas. “Apa maksudmu?” Raja balas bertanya. “Sang pangeran
sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini.” kata
Abu Nawas menjelaskan. “Bagaimana kau tahu?” “Ketika nama-nama desa di seluruh
negeri disebutkan tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras ketika
mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini. Dan sang pangeran
tidak berani mengutarakannya kepada Baginda.” “Lalu apa yang harus aku
lakukan?” tanya Raja. “Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu.” “Kalau tidak?”
tawar Raja ragu-ragu. “Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati
kebutaannya, maka ia akan mati.” Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak.
Sang pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal
kerajaan. Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang
pangeran berangsur-angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu
Nawas sebuah cincin permata yang amat indah.
Membalas Perbuatan Raja
Abu Nawas
hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi beberapa
pekerja kerajaan atas titan langsung Baginda Raja membongkar rumah dan terus
menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di
bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya.
Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak
ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas. Apabila
mengganti kerugian. inilah yang membuat Abu Nawas memendam dendam.Lama Abu
Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas
Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan karena nafsu
makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak. Keesokan
hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah
basi. la tiba-tiba tertawa riang
.“Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku
dan sebatang besi.” Abu Nawas berkata kepada istrinya.“Untuk apa?” tanya
istrinya heran.
“Membalas Baginda Raja.” kata Abu Nawas singkat.
Dengan
muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas
membungkuk hormat dan berkata,
“Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku
Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka
memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba.”
“Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai
Abu Nawas?” sergap Baginda kasar.
“Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil
membuka penutup piringnya. “Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan
hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini.”
“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau
inginkan dariku?”
“Hamba
hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan
leluasa menghukum lalat-lalat itu.” Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri
menotak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul
di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya
memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya
hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah
sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli
lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca.Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca
itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias
sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu
Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap
di tempayan Baginda Raja. Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya.
Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda
banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu.
Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas
yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah
menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang
mengusiknya.Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang
menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.
Menipu Tuhan
Sebenarnya
Abu Nawas adalah seorang ulama yang
alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak
sedikit.Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu
menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu.
Suatu
ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang
sama. Orang pertama mulai bertanya,
“Manakah
yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang
mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab
Abu Nawas. “Mengapa?” kata orang pertama.
“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu
Nawas. Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.Orang kedua bertanya
dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan
dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab
Abu Nawas.
“Mengapa?”
kata orang kedua.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu
tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang
kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas. Orang ketiga juga bertanya
dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan
dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab
Abu Nawas.“Mengapa?” kata orang ketiga. “Sebab pengampunan Allah kepada
hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas.
Orang
ketiga menerima aiasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan
perasaan puas.Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas
bertanya. “Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban
yang berbeda?”
“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata,
tingkatan otak dan tingkatan hati.”“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu
Nawas. “Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu
kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abu Nawas mengandaikan.“Apakah
tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang
di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu
Nawas. “Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.“Orang pandai
dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu
kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti
tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran
Allah.”
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa
pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu
Tuhan?”
“Mungkin.” jawab Abu Nawas.
“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin
tahu.
“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata
Abu Nawas
“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid
Abu Nawas
“Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi
ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka
ghafiruz dzanbil ‘adhimi.Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini
tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap
panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah
dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa
besar.
Abu Nawas Mati
Baginda Raja pulang ke istana dan langsung
memerintahkan para prajuritnya menangkap Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas telah
hilang entah kemana karena ia tahu sedang diburu para prajurit kerajaan. Dan
setelah ia tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, Abu Nawas
baru berani pulang ke rumah.
“Suamiku, para prajurit kerajaan tadi pagi mencarimu.”
“Ya istriku, ini urusan gawat. Aku baru saja
menjual Sultan Harun Al Rasyid menjadi budak.”
“Apa?”“Raja kujadikan budak!”
“Kenapa kau lakukan itu suamiku.”
“Supaya dia tahu di negerinya ada praktek jual
beli budak. Dan jadi budak itu sengsara.”
“Sebenarnya maksudmu baik, tapi Baginda pasti
marah. Buktinya para prajurit diperintahkan untuk menangkapmu.”
“Menurutmu apa yang akan dilakukan Sultan Harun
Al Rasyid kepadaku.
“Pasti kau akan dihukum berat.”
“Gawat, aku akan mengerahkan ilmu yang
kusimpan,”Abu Nawas masuk ke dalam, ia mengambil air wudhu lalu mendirikan
shalat dua rakaat. Lalu berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila
Baginda datang.Tidak berapa alama kemudian tetangga Abu Nawas geger, karena
istri Abu Nawas menjerit-jerit.
“Ada apa?” tanya tetangga Abu Nawas sambil
tergopoh-gopoh.
“Huuuuuu …. suamiku mati….!”
“Hah! Abu Nawas mati?”“lyaaaa….!”
Kini kabar kematian Abu Nawas tersebar ke seluruh
pelosok negeri. Baginda terkejut. Kemarahan dan kegeraman beliau agak susut
mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur
Baginda Raja.Baginda Raja beserta beberapa pengawai beserta seorang tabib
(dokter) istana, segera menuju rumah Abu Nawas. Tabib segera memeriksa Abu
Nawas. Sesaat ke¬mudian ia memberi laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas
memang telah mati beberapa jam yang lalu.Setelah melihat sendiri tubuh Abu
Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja marasa terharu dan meneteskan air
mata.
Beliau
bertanya kepada istri Abu Nawas.“Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?”
“Ada Paduka yang mulia.” kata istri Abu Nawas
sambil menangis.
“Katakanlah.” kata Baginda Raja.
“Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya
Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya dunia akhirat di depan rakyat.” kata
istri Abu Nawas terbata-bata.
“Baiklah kalau itu permintaan Abu Nawas.” kata
Baginda Raja menyanggupi.Jenazah Abu Nawas diusung di atas keranda. Kemudian
Baginda Raja mengumpulkan rakyatnya di tanah lapang.Beliau berkata, “Wahai
rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini aku, Sultan Harun Al Rasyid telah
memaafkan segala kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku dari
dunia hingga akhirat. Dan kalianlah sebagai saksinya.”Tiba-tiba dari dalam
keranda yang terbungkus kain hijau terdengar suara keras, “Syukuuuuuuuur ……
!”Seketika pengusung jenazah ketakukan, apalagi melihat Abu Nawas bangkit
berdiri seperti mayat hidup. Seketika rakyat yang berkumpul lari tunggang
langgang, bertubrukan dan banyak yang jatuh terkilir. Abu Nawas sendiri segera
berjalan ke hadapan Baginda. Pakaiannya yang putih-putih bikin Baginda keder
juga.
“Kau… kau…. sebenarnya mayat hidup atau memang
kau hidup lagi?” tanya Baginda dengan gemetar.
“Hamba masih hidup Tuanku. Hamba mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga atas pengampunan Tuanku.”
“Jadi kau masih hidup?”
“Ya, Baginda. Segar bugar, buktinya kini hamba
merasa lapar dan ingin segera pulang.”
“Kurang ajar! Ilmu apa yang kau pakai Abu Nawas?
“Ilmu dari mahaguru sufi guru hamba yang sudah
meninggal dunia…”
“Ajarkan ilmu itu kepadaku…”
“Tidak mungkin Baginda. Hanya guru hamba yang
mampu melakukannya. Hamba tidak bisa mengajarkannya sendiri.”
“Dasar pelit !” Baginda menggerutu kecewa.
Taruhan Yang Berbahaya
Pada suatu
sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah berada di situ. Mereka
memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas. “Nah ini Abu Nawas datang.” kata
salah seorang dari mereka.
“Ada apa?” kata Abu Nawas sambil memesan
secangkir teh hangat.
“Kami tahu
engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap yang dirancang
Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum
Baginda Raja bila engkau berani melakukannya.” kawan-kawan Abu Nawas membuka
percakapan. “Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu
ditakuti kecuali kepada Allah Swt.” kata Abu Nawas menentang. “Selama ini belum
pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun
Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?
” tanya kawan Abu Nawas. “Tentu saja tidak ada
yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat
hukumannya pasti dipancung.” kata Abu Nawas memberitahu. “Itulah yang ingin
kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?”
“Sudah
kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah Swt. saja. Sekarang apa taruhannya
bila aku bersedia melakukannya?
” Abu Nawas ganti bertanya. “Seratus keping uang
emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala engkau pantati.” kata mereka.
Abu Nawas
pulang setelah menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu. Kawan-kawan Abu
Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat Baginda Raja tertawa apalagi ketika
dipantati.
Kayaknya
kali ini Abu Nawas harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala. Minggu
depan Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan.
Para
menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda diundang, termasuk Abu
Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus
menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang
algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang.
Karena mereka tak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.
Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja menginginkan
perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang raja-raja dari negeri sahabat.
Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas.
Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas
tidak hadir. Namun temyata mereka keliru. Abu Nawas bukannya tidak datang
tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk di tempat yang paling belakang.
Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Dan
tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan pidatonya. Seusai
menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian di tempat yang
tidak ada karpetnya.
Karena
merasa heran Baginda bertanya, “Mengapa engkau tidak duduk di atas karpet?”
“Paduka
yang mulia, hamba haturkan terima kaslh atas perhatian Baginda. Hamba sudah
merasa cukup bahagia duduk di sini.” kata Abu Nawas.
“Wahai Abu
Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu kotor karena duduk
di atas tanah.
” Baginda Raja menyarankan.
“Ampun Tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini
sudah duduk di atas karpet.” Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas.
Karena Baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk di atas lantai. “Karpet yang
mana yang engkau maksudkan wahai Abu Nawas?” tanya Baginda masih bingung.
“Karpet
hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke
manapun hamba pergi.” Kata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri. “Tetapi
sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa.” kata Baginda Raja
bertambah bingung.
“Baiklah
Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan
menunjukkan kepada Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut
ke depan. Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian
menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan di bagian pantatnya.
Abu Nawas kini seolah-olah memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada
sepotong karpet menempel di pantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung
tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para undangan. Menyaksikan
kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum. Mereka harus
rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.
Tipu Dibalas Tipu
Ada
seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya
Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui
Abu Nawas di kediamannya. Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan
salat Dhuha. Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan
menunggu sambil berbincang-bincang santai. Seusai salat Abu Nawas menyambut
mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak. “Kami sebenarnya
ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan
bergabunglah bersama kami.” kata Ahli Yoga. “Dengan senang hati.
style="font-family: "Traditional
Arabic","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Lalu kapan
rencananya?” tanya Abu Nawas polos.
“Besok
pagi.” kata Pendeta.
“Baiklah
kalau begitu kita bertemu di warung teh besok.
” kata Abu Nawas menyanggupi.
Hari
berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi.
Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah
jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak
membawa bekal. “Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan
derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan
kebaktian.” kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan
mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu
Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke
Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.
Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu
Nawas berkata, “Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.”
“Jangan
sekarang. Kami sedang berpuasa.” kata Ahli Yoga.
“Tetapi
aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada
kalian.” kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
“Aku tidak
setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:” kata Pendeta. “Betul
aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan
berbuka.” kata Ahli Yoga.
“Bukankah
aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang telah kutukar
dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku mengambil bagian
sendiri. Itu tidak masuk akal.” kata Abu Nawas mulai mera jengkel.
Namun
begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas
mengambil bagian yang menja haknya. Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi
meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka
tetap saja menolak. Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu
Nawas tid memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
“Bagaimana
kalau kita mengadakan perjanjian.” kata Pendeta kepada Abu Nawas. “Perjanjian
apa?” tanya Abu Nawas.
“Kita
adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan
mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan
mendapat paling sedikit.
” Pendeta itu menjelaskan. Abu Nawas setuju. la
tidak memberi komentar apa-apa. IVfalam semakin larut. Embun mulai turun ke
bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la
hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap
Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan
habis makanan itu hinggatidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan
Abu Nawas baru bisa tidur. Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli
Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, “Tadi malam aku bermimpi memasuki
sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang
belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.” Pendeta mengatakan bahwa
mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian
giliran Pendeta menceritakan mimpinya. “Aku seolah-olah menembus ruang dan
waktu. Dan temyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke
masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang
lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.” Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan
mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam. la bahkan tidak merasa tertarik
sedikitpun. Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga
mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas. “Kalian tentu tahu
Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli berpuasa. Tadi
malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah
aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan
sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah
malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera
bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa
perasaa bersalah secuil pun. Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta
dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas
terobati. Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu
Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.
Raja Dijadikan Budak
Kadangkala
untuk menunjukkan sesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya sekedar
melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata kepala
sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup sengsara. Ada saja
praktek jual beli budak.
Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas
merencanakan menjuai Baginda Raja. Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja
yang paling patut untuk dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu
miempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah
kalau sekarang giliran Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.Abu Nawas menghadap dan
berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid.
“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan
hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia.”
“Apa itu wahai Abu Nawas?” tanya Baginda langsung
tertarik.
“Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas
di dalam benak Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas meyakinkan.
“Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk
menyaksikannya.” kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.
“Tetapi Baginda … ” kata Abu Nawas sengaja tidak
melanjutkan kalimatnya.
“Tetapi apa?” tanya Baginda tidak sabar.
“Bila Baginda tidak menyamarsebagai rakyat biasa
maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib
itu.” kata Abu Nawas.
Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja,
maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu
Nawas.Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke
sebuah hutan. Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati
sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara
itu Abu Nawas menemui seorang badui yang pekerjaannya menjuai budak. Abjj Nawas
mengajak pedagang budak itu untuk mettrtat calon budak yang akan dijual
kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon
budak itu adalah teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di
depan mata. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa
cocok. Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang
budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah
pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas
dari pedagang budak itu.Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika
pedagang budak menghampirinya. la belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga
menampakkan batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain
di situ.
“Siapa engkau?” tanya Baginda Raja kepada pedagang
budak.
“Aku adalah tuanmu sekarang.” kata pedagang
budak itu agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali
Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Baginda Raja
dengan wajah merah padam. “Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah
surat kuasa yang baru dibuatnya.” kata pedagang budak dengan kasar.
“Abu Nawas menjual diriku kepadamu?” kata Baginda
makin murka.
“Ya!”
bentak pedagang budak.
“Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?” tanya
Baginda geram.
“Tidak dan
itu tidak perlu.
” kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret
budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan
diperintahkan untuk membelah kayu. Begitu banyak tumpukan kayu di belakang
rumah badui itu sehingga memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa
ngeri, apalagi harus mengerjakannya.
“Ayo kerjakan!” Sultan Harun Al Rasyid
mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si badui melihat cara
Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.
“Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau
arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali !
”Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang
hingga bagian yang tajam terarah ke kayu. la mencoba membelah namun tetap saja
pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si badui.
“Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari
sesuap nasi, harus bekerja keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan
juga.
” gumam Sultan Harun Al Rasyid. Si badui menatap
Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama menjadi marah. la
merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.
“Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan.”
“Kurang
ajar kau budakku harus patuh kepadaku!
” kata badui itu sembari memukul baginda. Tentu
saja raja yang tak pernah disentuh orang iki menjerit keras saat dipukul kayu.
“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al
Rasyid.” kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.Pedagang budak itu
kaget dan mulai mengenal Baginda Raja.la pun langsung menjatuhkan diri sembari
menyembah Baginda Raja. Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia
memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas.
Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.
Merayu
Tuhan
Tak
selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya
yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar,
ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap
menyampaikannya dengan ringan. Seorang murid Abu Nawas ada yang sering
mengajukan macam-macam pertanyaan.
Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan
Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima
tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
"Manakah yang lebih utama, orang yang
mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
ujar orang yang pertama.
"Orang yang mengerjakan dosa kecil,"
jawab Abu Nawas.
"Mengapa
begitu," kata orang pertama mengejar.
"Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni
oleh Allah," ujar Abu Nawas.
Orang pertama itupun manggut-manggut sangat
puas dengan jawaban Abu Nawas. Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan
pertanyaan yang sama,
"Manakah
yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang
mengerjakan dosa-dosa kecil?" tanyanya.
"Yang utama adalah orang yang tidak
mengerjakan keduanya," ujar Abu Nawas. "Mengapa demikian?" tanya
orang kedua lagi.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu
pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi," ujar Abu Nawas santai.
Orang
kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang
ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. "Manakah yang
lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan
dosa-dosa kecil?" tanyanya.
"Orang yang mengerjakan dosa besar lebih
utama," ujar Abu Nawas.
"Mengapa bisa begitu?" tanya orang
ktiga itu lagi.
"Sebab
pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa
hamba-Nya," ujar Abu Nawas kalem.
Orang
ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak
pergi. Si murid yang suka bertanya
kontan berujar mendengar kejadian itu. "Mengapa pertanyaan yang sama bisa
menghasilkan tiga jawaban yang berbeda," katanya tidak mengerti. Abu Nawas
tersenyum.
"Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan,
tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati," jawab Abu Nawas.
"Apakah
tingkatan mata itu?" tanya si murid. "Seorang anak kecil yang melihat
bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak
dimatanya," jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
"Lalu apakah tingkatan otak itu?"
tanya si murid lagi.
"Orang pandai yang melihat bintang di
langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki
pengetahuan," jawab Abu Nawas.
"Dan apakah tingkatan hati itu?"
Tanya si murid lagi.
"Orang
pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa
bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab
baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,"
jawab Abu Nawas sambil tersenyum. Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa
satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda.
Tapi
si murid itu bertanya lagi. "Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu
Tuhan?" tanyanya.
"Mungkin," jawab Abu Nawas santai
menerima pertanyaan aneh itu.
"Bagaimana caranya?" tanya si murid
lagi.
"Manusia bisa menipu Tuhan dengan
merayu-Nya melalui pujian dan doa," ujar Abu Nawas.
"Kalau begitu, ajarilah aku doa itu,
wahai guru," ujar si murid antusias. "Doa itu adalah, "Ialahi
lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir
dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi." (Wahai Tuhanku, aku tidak
pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka.
Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya
Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar). Banyak orang yang mengamalkan
doa yang merayu Tuhan ini.
Enam Lembu
Pandai Bicara
Pada
suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana.
Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan
Sultan, Abu Nawas pun menyembah.
Dan Sultan bertitah, "Hai, Abu Nawas, aku
menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau
mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal
lehermu.
"Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung
tinggi titah tuanku." Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu,
berkata dalam hati,
"Mampuslah kau Abu Nawas!
"
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk
berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah,
sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu
kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya. Ia segera menuju
kerumunan orang banyak, lalu ujarnya,
"Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?
"
Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang
menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab
dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka,
"Begitu saja kok anggak bisa menjawab.
Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu
kebenaran yang sesungguhnya.
"
Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin
tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot. Sampai di depan
Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat.
Lalu, Sultan berkata,
"Hai
Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?" Tanpa banyak
bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu,
"Inilah
mereka, tuanku Syah Alam." "Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan
kepadaku itu?"
"Ya,
tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang," jawab Abu
Nawas. Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban
berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas,
"Jika
mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan
hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka
ini?
"Inilah
lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku." Sultan heran melihat Abu
Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Sultan pun memberikan
hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.
Pukulan
jadi Dinar
Pada
suatu hari Abu Nawas menghadap ke Istana. Ia pun bercakap-cakap dengan Sultan
dengan riang gembira. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran di benak Sultan.
"Bukankah
Ibu si Abu Nawas ini sudah meninggal?
Aku
ingin mencoba kepandaiannya sekali lagi, Aku ingin menyuruh dia membawa ibunya
ke istanaku ini. Kalau berhasil akan aku beri hadiah seratus dinar.
"Hai, Abu Nawas," titah Sultan,
"Besok bawalah Ibumu ke istanaku, nanti aku beri engkau hadiah seratus
dinar.
"
Abu Nawas kaget. "Bukankah beliau sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal,
tapi mengapa beliau memerintahkan itu,"
pikirnya.
Namun dasar Abu Nawas, ia menyanggupi perintah itu.
"Baiklah,
tuanku, esok pagi hamba akan bawa ibu hamba menghadap kemari," jawabnya
mantap.
Setelah
itu ia pun mohon diri. Sesampai di rumah, setelah makan dan minum, ia pergi
lagi. Dijelajahinya sudut-sudut negeri itu, menyusuri jalan, lorong dan
kampung, untuk mencari seorang perempuan tua yang akan dijadikan sebagai ibu
angkat. Rupanya tidak mudah menemukan sesosok perempuan tua. Setelah memeras
tenaga mengayun langkah kesana kemari hingga jontor, barulah ia menemukan yang
dicari. Perempuan itu adalah seorang pedagang kue apem di pinggir jalan yang
sedang memasak kue-kue dagangannya. Dihampirinya perempuan tua itu.
"Hai, ibu, bersediakah engkau kujadikan
ibu angkat?"
kata
Abu Nawas. "Kenapa engkau berkata demikian?"
tanya
si Ibu tua itu. "Apa alasannya?"
Maka
diceritakanlah perihal dirinya yang mendapat perintah dari Sultan agar membawa
ibunya ke istana. Padahal ibunya sudah meninggal. Juga dijanjikan akan membagi
dua hadiah dari Sultan yang akan diterimanya.
"Uang
itu dapat ibu simpan untuk bekal meninggal bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan,
"
kata Abu Nawas. "Baiklah kata si Ibu tua itu, aku sanggup memenuhi
permintaanmu itu.
"
Setelah itu Abu Nawas menyerahkan sebuah tasbih dengan pesan agar terus
menghitung biji tasbih itu meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab
pertanyaan yang diajukan. Sebelum meninggalkan perempuan itu, Abu Nawas
wanti-wanti agar rencana ini tidak sampai gagal. Untuk itu ia akan menggendong
perempuan tua itu ke istana.
"Baiklah
anakku, moga-moga Tuhan memberkatimu," Kata si ibu tua. "Dan terutama
kepada Ibuku...."
Keesokan
harinya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah sampai di istana lalu memberikan salam
kepada Sultan.
"Waalaikumsalam,
Abu Nawas," jawab Sultan.
Setelah
itu Sultan memandang Abu Nawas. Bukan main terkejutnya Sultan melihat Abu Nawas
menggendong seorang perempuan tua.
"Siapa
yang kamu gendong itu?" tanya Sultan.
"Diakah
ibumu?"
tapi
kenapa siang begini kamu baru sampai?"
"Benar, tuanku, inilah ibu Patik, beliau
sudah tua dan kakinya lemah dan tidak mampu berjalan kemari, padahal rumahnya
sangat jauh. Itu sebabnya patik gendong ibu kemari," kata Abu Nawas sambil
mendudukkan ibu tua di hadapan Sultan. Setelah duduk ibu tua itu pun memegang
tasbih dan segera menghitung biji tasbih tanpa henti meski Sultan mengajukan
beberapa pertanyaan kepadanya. Tentu saja Sultan tersinggung, "Ibumu
sangat tidak sopan, lagi pula apa yang dikatakannya itu sampai tidak mau
berhenti?"
Sembah
Abu Nawas, "Ya tuanku Syah Alam, suami ibu patik ini 99 banyaknya. Beliau
sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan tidak akan berhenti
sebelum selesai semuanya.
"
Seratus Dinas Demi mendengar ucapan Abu Nawas tadi perempuan tua itu pun
melempar tasbih dan bersembah datang kepada Sultan.
"Ya
tuanku Syah Alam," katanya, "
Adapun
patik ini dari muda sampai tua begini hanya seorang suami hamba. Apabila
sekarang ini berada di hadapan tuanku, itu adalah atas permintaan Abu Nawas.
Dia berpesan agar patik menghitung-hitung biji tasbih dan tidak menjawab
pertanyaan tuanku. Nanti Abu Nawas akan membagi dua hadiah yang akan
diterimanya dari tuanku.
"
Begitu mendengar ucapan perempuan tua itu Sultan tertawa dan menyuruh memukul
Abu Nawas seratus kali. Ketika perintah itu akan dilaksanakan, Abu Nawas minta
izin untuk dipertemukan dengan Sultan.
"Ya
tuanku, hukuman apakah yang akan tuanku jatuhkan kepada hamba ini?"
"Karena
engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu kemari, akupun berjanji akan
memberi hadiah uang seratus dinar, tapi karena kamu tidak bisa memenuhi
janjimu, dapatlah engkau seratus kali pukulanku,
"
kata Sultan. "Ya tuanku,
Syah
Alam," kata Abu Nawas,
"Patik
berjanji dengan perempuan tua ini akan membagi dua hadiah yang akan tuanku
berikan kepada hamba, tetapi karena sekarang hamba mendapat dera, hadiah itu
juga harus dibagi dua, karena yang bersalah dua orang, patik terimalah hukuman
itu, tetapi lima puluh seorang dengan perempuan tua ini.
"
Dalam hati Sultan bergumam, "Jangankan dipukul lima puluh kali, dipukul
sekali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri.
"
Setelah itu Sultan memberi lima puluh dinar kepada perempuan tua itu sambil
berpesan agar tidak cepat percaya kepada Abu Nawas bila lain kali menemuinya.
Dengan suka cita diterimanya hadiah itu dan dipandangnya Abu Nawas.
"Ya
tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat anugerah dari
paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu saja."
"Hmm....ya,
terimalah pula bagianmu," ujar baginda sambil tersenyum,
"Ini...."
Semua orang tertawa dalam hati.
Setelah
Abu Nawas bermohon diri pulang ke rumah. Demikian pula perempuan tua itu dan
semua yang hadir di Balairung, dengan perasaan masing-masing.
Menampar Pipi Raja
Abu
Nawas dengan sifat berani menegur sang raja agar mengetahui kondisi rakyat yang
dipimpinnya. Ia sengaja telah membiarkan pipi sang raja ditampar oleh
orang Yahudi. Tapi anehnya, raja tak membalas kelakuan Abu Nawas itu melah
berterimakasih karenanya.
Berikut Kisahnya. Pada suatu hari, Abu Nawas
singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana tengah berlangsung
permainan musik yang meriah. Banyak orang yang menonton sehingga suasana begitu
meriah.
Semua
tamu yang hadir terlibat dalam permainan musik indah itu, termasuk Abu Nawas
yang baru saja masuk. Ada yang bermain kecapi, ada yang menari-nari dan
sebagainya, semuanya bersuka ciata.
Ketika
para tamu sudah kehausan, tuan rumah menyuguhkan kopi kepada para hadirin.
Masing-maisng mendapat secangkir kopi, termasuk Abu Nawas. Ketika Abu Nawas
hendak meminum kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena sudah
terlanjur larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan dan diangkatnya
lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ditampar.
Ternyata
tamparan yang diterima Abu Nawas pada malam itu cukup banyak sampai acara
selesai sekitar pukul 2 dini hari. Pesta Musik dengan Suguhan Secangkir Kopi.
Di tengah jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas,
"Jahat
benar perangai Yahudi itu, main tampar saja. Kelakuan seperti itu tidak boleh
dibiarkan berlangsung di Baghdad. Tapi, apa dayaku hendak melarangnya?"
pikirnya
dalam hati. "Ahaa..aku ada akal," guman Abu Nawas selanjutnya.
Keesokan harinya, Abu Nawas menghadap Raja
Harun Ar-Rasyid di istana.
"Tuanku,
ternyata di negeri ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal,
sangat aneh," lapor Abu Nawas.
"Di
mana tempatnya?" tanya Baginda.
"Di
tepi hutan sana Baginda," kata Abu Nawas.
"Mari
kita lihat," ajak Baginda.
"Nanti
malam kita pergi berdua saja dan Tuanku memakai pakaian santri," ucap Abu
Nawas.
Setelah
Shalat Isya, maka berangkatlah Baginda dan Abu Nawas ke rumah Yahudi itu.
Ketika sampai di sana, kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik dengan
teman-temannya, maka Baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta untuk
menari, Baginda menolak sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kanan kiri.
Sampai
di situ Baginda baru sadar bahwa ia telah dipermainkan oleh Abu Nawas. Tapi apa
daya ia tak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka, menarilah Baginda sampai
keringat membasahi sekluruh tubuhnya yang gendut itu. Setelah itu barulah
diedarkan kopi kepada semua tamu, dan melihat hal itu, Abu Nawas meminta izin
untuk keluar ruangan dengan alasan akan pergi ke kamar mandi untuk kencing.
"Biar
Baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah
mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para
menteri,"
pikir
Abu Nawas dalam hati sembari meluncur pulang ke rumahnya. Raja Ditampar Pipinya
Kiri Kanan. Tatkala hendak mengankat cangkir kopi ke mulutnya, Baginda ditampar
oleh si Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat kopi cangkirnya lagi, ia pun
terkena tamparan lagi begitu seterusnya hingga Baginda belum pernah mencicipi
barang sedikit saja kopi yang disuguhkan., Pada pagi harinya, setelah bangun
tidur, Baginda Raja Harun Ar-Rasyid memerintahkan seorang pelayan istana untuk
memanggil Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu
tadi malam, engkau biarkan diriku dipermalukan seperti itu," kata Baginda.
"Mohon
ampun wahai Baginda Raja, pada malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan
yang sma seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti
Baginda tidak akan percaya. Dari itu, hamba bawa Baginda ke sana agar
mengetahui dengan kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh itu,"
jawab Abu Nawas membela diri.
Baginda
tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberapa pengawal untuk
memanggil si Yahudi itu.
"Wahai
Yahudi, apa sebabnya engkau menampar aku tadi malam," tanya Baginda marah.
"Wahai
Tuanku, sesungguhnya hamba tidak tahu jika malam itu adalah Tuanku.
Jika sekiranya hamba tahu, hamba tidak akan
berbuat seperti itu,
"
jawab si Yahudi membela diri. Apa daya, pembelaan Yahudi tidak disetujui oleh
Baginda.
Karena
menampar orang termasuk perbuatan maksiat dan Baginda harus mengambil tindakan
tegas karenanya.
"Sekarang
terimalah pembalasanku," kata Baginda.
"Ampunilah
hamba, Tuanku," ucap si Yahudi.
Segera
saja Baginda memerintahkan para prajurit untuk memasukkan si Yahudi ke dalam
penjara. Sejak saat itu Raja Harun amat memperhatikan rakyatnya. Ia
berterimakasih atas laporan yang diberikan oleh Abu Nawas tersebut.
Tertipu
Sandal Ajaib
Ada-ada
saja ulah Abu nawas ini, tapi maksud dan tujuannya sebenarnya baik yaitu
menyadarkan orang-orang kaya yang sekampung dengannya agar selalu ingat kepada
Alloh SWT. Agar mereka sadar dari perbuatan untuk memperkaya diri sendiri
dengan cara apapun.
Nah,
ide cemerlangnya kali ini adalah sebuah sandal ajaib. Berkat sandal ajaib ini,
akhirnya salah seorang diantara mereka bertobat kepada Allah SWT. Berikut
Kisahnya Kampung tempat tinggal Abu Nawas lama kelamaan membuatnya merasa tak
nyaman karena saking banyaknya umat Islam yang menumpuk-numpuk harta dengan
menghalalkan segala cara.
Otomatis
hal ini membuat Abu Nawas gusar, karena sebagai seorang ulama, Abu Nawas
berfikir bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran islam. Untuk menghentikan
perbuatan buruk tersebut, Abunawas memutar otak mencari ide yang tepat untuk
menyadarkan banyak orang. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia menemukan ide
cemerlang yaitu ide sandal ajaib. Dengan mengambil peralatan sederhana,
berangkatlah ia ke pasar untuk gelar tikar menjual sandal-sandal.
"Sandal
ajaib...sandal ajaib....sandal ajaib," kata Abunawas berkali-kali di
pasar.
Sesaat
kemudian muncullah salah seorang pemuda yang melihat-lihat barang dagangannya.
"Silahkan
Tuan, mau mencari apa?" tanya Abunawas.
"Saya
ingin mencari sandal yang bisa merubah hidupku yang miskin ini," jawab
pemuda itu.
"Apa
maksud Tuan?" tanya Abunawas lagi.
"Saya
ini sudah lama hidup miskin dan ingin sekali kaya raya. Saya ingin membeli
barang yang bisa memberikan saya keberuntungan," kata pemuda itu.
Sandal
Ajaib Sejurus kemudian Abunawas menunjukkan salah satu sandal ajaibnya. Ia
mengatakan bahwa sandal itu akan membikin penggunanya dari tak punya menjadi
orang yang punya. Karena tertarik, pembeli itu akhirnya jadi juga membeli
sandal ajaib itu dengan harga yang lumayan mahal. Si pemuda langsung saja
memakai sandal ajaib itu berkeliling kampung dengan harapan semoga
keberuntungan segera berpihak kepadanya.
Akan
tetapi, harapannya tak kunjung terwujud. Jangankan keberuntungan, si pemuda
malah dikira pencuri di kampung tersebut. Untung saja para warga tak sampai
menghakiminya. Karena merasa tertipu, pemuda itu kembali lagi menemui Abu Nawas
untuk protes.
"Assalamu'alaikum..." sapa pemuda
itu.
"Wa'alaiukm salam..., eh ternyata Tuan,
bagaimana kabar Tuan?" tanya Abu Nawas.
"Kabar
jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan gara-gara sandal ini.
Padahal
dulu engkau mengatakan kalau sandal ini bisa mendatangkan keberuntungan, bisa
menjadi kaya dan terkenal, tapi mana buktinya?" protes si pembeli.
"Seingat
saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu Tuan?" sergah Abu Nawas.
"Saya
hanya mengatakan bahwa bila Tuan pada mulanya orang yang tidak punya, maka
dengan membeli sandal ini Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang
Tuan sudah memiliki sandal ajaib ini," kata Abu Nawas.
Pembeli
Bertobat Begitu mendengar penuturan Abunawas, pemuda itu hanya bisa diam, ia
menyadari bahwa dirinya sedang salah tafsir.
"Lalu
mengapa engkau mengatakan bahwa sandal ini ajaib?" tanya pembeli.
"Karena
merk sandal ini adalah ajaib, sandal ajaib," jawab Abunawas.
Akhirnya
pemuda itu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
"Tunggu
Tuan, saya ingin mengatakan sesuatu kepada Tuan. Mungkin saja akan ada manfaatnya,"
kata Abu Nawas.
"Jangan
percaya kepada barang ajaib, karena percaya pada sesuatu selain Allah SWT bisa
membuat kita syirik dan akan mendapatkan kesusahan di dunia dan akhirat kelak.
Buktinya sebagaimana yang Tuan alami ini, oleh karena itu, segeralah bertobat
kepada Alloh SWT," kata Abu Nawas.
Mendengar
penuturan Abu Nawas, sepertinya pemuda itu menyadari kesalahannya. Ternyata
banyak sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Al
Abu Nawas Hamil dan Melahirkan Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon,
penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya,
suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap.
Sejak
dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di
Istana.
"Mungkin
Abu Nawas marah kepadaku," pikir Sultan,
maka
diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.
"Tolong
sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin," jawab Abu Nawas
kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan.
Aku
sedang menunggu dukun beranak untuk mengelurkan bayiku ini, kata Abu Nawas lagi
sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.
"Ajaib
benar," kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa
setianya.
"Baru
hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak
bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan
untuk menengok Abu Nawas.
Maka
berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.
Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyamabut danm
menyembah kakinya, seraya berkata,
"Ya
tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina
dina ini."
Sultan
dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk
bersila di bawahnya.
"Ya
tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini?
Rasanya bertahta selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah
hamba," tanya Abu Nawas.
"Aku
kemari karena ingin tahu keadaanmu," jawab Sultan,
"Engkau
dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak
zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang
lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari.
"
Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
"Coba
jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,"
tanya Sultan lagi. Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas.
"Konon,
ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan
berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembear tersebut
ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil
tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh
negeri.
Lagi
pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi,
jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda
pengecut. Oleh akrena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah
tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditumggu,
adalah baginda kemari," baginda kemari kata Abu Nawas, adapun beranak yang
ditunggu kedatangan Baginda kemari, kata Abu Nawas.
"
Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud
dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada
Baginda."
"Bukan
begitu, kata Sultan. Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak
sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana,
aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak mentri, tetapi tidak seperti
kamu. lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah
cahaya Balairungku".
"Segala
titah baginda, patik junjung tinggi tuanku,
"
sembah Abu Nawas dengan takdzim.
Tetapi
Sultan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun
kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli....
Memenangkan
Lomba Berburu
Kali
ini Abu Nawas tengah diuji oleh Raja Harun Ar-Rasyid dengan mengadakan
sayembara. Dalam sayembara itu Abu Nawas berhasil menjadi pemenang dan
menaklukkan lawannya. Kisahnya. Pada suatu hari yang cerah, Raja Harun
Ar-Rasyid dan para pengawalnya meninggalkan istana untuk berburu. Namun, di
tengah perjalanan, salah satu pejabat kerajaan yang bernama Abu Jahil menyusul
dengan terengah-engah di atas kudanya.
"Baginda...Baginda...hamba
mau mengusulkan sesuatu," katanya Abu Jahil mendekati sang Raja.
"Apa
usulm itu wahai Abu Jahil?" taya Raja.
"Agar
acara berburu ini menarik dan disaksikan banyak penduduk, bagaimana kalau kita
sayembarakan saja?
"
ujar Abu Jahil dengan raut wajah serius. Baginda Raja terdiam sejenak dan
mengangguk-angguk.
"Hamba
ingin beradu ketangkasan dengan Abu Nawas, dan nanti pemenangnya akan
mendapatkan sepundi uang emas. Tapi, kalau kalah, hukumannya adalah dengan
memandikan kuda-kuda istana selama 1 bulan," tutur Abu Jahil meyakinkan
Raja.
Terompet
Sayembara Ditiup. Akhirnya sang Raja menyetujui usulan Abu Jahil tersebut.
Hitung-hitung sayembara itu akan memberikan hiburan kepadanya. Maka,
dipanggillah Abu Nawas untuk menghadap, dan setelah menghadap Raja Harun, Abu
Nawas pun diberi petunjuk panjang lebar.
Pada
awalnya, Abu Nawas menolak sayembara tersebut karena ia tahu bahwa semua ini
adalah akal bulus dari Abu Jahil yang ingin menyingkirkannya dari istana. Tapi
Baginda Raja Harun memaksa dan Abu Nawas tudak bisa menolak. Abu Nawas berpikir
sejenak. Ia tahu kalau Abu Jahil sekarang diangkat menjadi pejabat istana. Ia
pasti mengerahkan semua anak buahnya untuk menyumbang seekor binatang buruannya
di hutan nanti. Namun , karena kecerdikannya, Abu Nawas malah tersenyum riang.
Abu
Jahil yang melihat perubahan raut muka Abu Nawas menjadi penasaran dbuatnya,
batinnya berkata mana mungkin Abu Nawas bisa mengalahkan dirinya kali ini.
Akhirnya, Baginda menggiring mereka ke tengah alun-alun istana.
Raja
dan seluruh rakyat menunggu, siapa yang bakal menjadi pemenang dalamlomba
berburu ini. Terompet tanda mulai adu ketangkasan pun ditiup. Abu Jahil segera
memacu kudanya secepat kilat menuju hutan belantara. Anehnya, Abu Nawas justru
sebaliknya, dia dengan santainya menaiki kudanya sehingga para penonton banyak
yang berteriak.
Menjelang
sore hari, tampaklah kuda Abu Jahil memasuki pintu gerbang istana. Ia pun
mendapat sambutan meriah dan tepuk tangan dari rakyat yang menyaksikannya. Di
sisi kanan dan kiri kuda Abu Jahil tampak puluhan hewan yang mati terpanah. Abu
Jahil dengan senyum bangga memperlihatkan semua binatang buruannya di tengah
lapanangan.
"Aku,
Abu Jahil berhak memenangkan lomba ini. Lihat..binatang buruanku banyak. Mana
mungkin Abu Nawas mengalahkanku?" teriaknya lantang yang membuat para
penonton semakin ramai bertepuk tangan.
Ribuan
Semut. Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara kaki kuda Abu Nawas. Semua
orang mentertawakan dan meneriakinya karena Abu Nawas tak membawa satu pun
binatang buruan di kudanya. Tapi, Abu Nawas tidak tampak gusar sama sekali. Ia
malah tersenyum dan melambaikan tangan.
Baginda
Raja menyuruh kepada 2 orang pengawalnya maju ke tengah lapangan dan menghitung
jumlah binatang buruan yang didapatkan 2 peserta tersebut. Dan kesempatan
pertama, para pengawal menghitung jumlah binatang hasil buruan dari Abu Jahil.
"Tiga
puluh lima ekor kelinci, ditambah lima ekor rusa dan dua ekor babi hutan,"
kata salah satu pengawal.
"Kalau
begitu akulah pemenangnya karena Abu Nawas tak membawa seekor
binatangpun," teriak Abu Jahil dengan sombongnya.
"Tenang...tenang...aku
membawa ribuan binatang. Jelaslah aku pemenangnya dan engkau wahai Abu Jahil,
silahkan memandikan kuda-kuda istana. Menurut aturan lomba, semua binatang
boleh ditangkap, yang penting jumlahnya," kata Abu Nawas sambil membuka
bambu kuning yang telah diisi dengan ribuan semut merah.
"Jumlahnya
sangat banyak Baginda, mungkin ribuan, kami tak sanggup menghitungnya
lagi," kata pengawal kerajaan yang menghitung jumlah semut itu.
Melihat
kenyataan itu, Abu Jahil tiba-tiba saja jatuh pingsan. Baginda Raja tertawa
terpingkal-pingkal dan langsung memberi hadiah kepada Abu Nawas. Kecerdikan dan
ketulusan hati pasti bisa mengalahkan kelicikan.
Basuh
Tangan 120 Kali .
Abu
Nawas bekerja sebagai orang kepercayaan Raja Ali Ibnu Bakri. Abu Nawas dikenali
sebagai orang cerdik dan ahli dongeng yang termasyhur.
Suatu
hari Raja mengalami ketegangan fikiran selepas bekerja sepanjang hari mengurus
rakyat. Sang Raja memerintahkan kepada Abu Nawas bercerita mengenai kisah-kisah
aneh dan ajaib, yang menjadi kegemaran sang Raja, untuk menghilangkan sedikit
ketegangan jiwa yang dialaminya. Kebiasaannya, Raja mendengar kisah-kisah Abu
Nawas pada malam hari, yaitu sebelum sang raja menidurkan matanya.
Abu Nawas menjawab, "Dengan senang hati,
wahai raja yang baik dan bahagia..."
Dikisahkan,
wahai Raja yang bahagia, salah seorang pelayan istana berkata kepada raja Cina:
Wahai Raja zaman ini, tuan rumah memerintahkan para pelayannya agar mengambil
air dan semua yang diperlukan untuk membasuh tangan salah seorang tamunya yang
dianggap agak ganjil dan aneh.
Tamu
itu lalu membasuh tangannya dengan air bercampur sabun, garam dan daun sebanyak
seratus dua puluh kali basuhan. Selepas itu barulah ia makan 'ragut'(sejenis
makanan yang berasal dari sebuah desa di Baghdad), tetapi pemuda itu memakannya
seolah-olah dengan perasaan jijik dan mual, sementara kami memandangnya dengan
penuh kehairanan, sebab tangannya dan malah sekujur tubuhnya menggigil. Bila
kami melihat tangannya, barulah kami mengetahui bahawa ibu jarinya terpotong,
dia makan hanya dengan empat jari, sehingga menyebabkan makanan itu berjatuhan
dari tangannya. Kami menyoalnya dengan hairan,
"Apa
yang terjadi dengan ibu jarimu? Apakah Tuhan menciptakanmu dalam keadaan
seperti ini, atau apakah engkau pernah mengalami kemalangan?"
Pemuda
itu menyahut, "Demi Tuhan, bukan hanya ibu jari ini saja yang hilang,
tetapi juga ibu jari tanganku yang satu lagi, dan tumit kedua-dua kakiku,
seperti yang akan kalian lihat.
"
Lalu dia menunjukkan tangan kirinya dan kedua-dua kakinya.
Kami
melihat bahawa tangan kirinya nampak seperti tangan kanannya dan kedua-dua
kakinya, tidak mempunyai tumit. Ketika kami melihatnya, kehairanan kami semakin
bertambah, hingga kami berkata padanya,
"Kami tak sabar menunggu kisahmu dan
penyebab terpotongnya kedua ibu jari serta tumit kakimu dan mengapa engkau
membasuh tanganmu seratus dua puluh kali."
Pemuda
itu berkata, "Ayahku adalah salah seorang pedagang yang paling terkemuka
di Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid. Tetapi ayahku gemar
minum anggur dan bermain muzik kecapi, sehingga ketika dia meninggal ayahku
tidak mewariskan sesuatu pun kepadaku. Aku melaksanakan upacara pemakaman
baginya, mengadakan pengajian Al-Quran, dan terus berkabung untuknya dalam masa
yang cukup lama. Lalu aku membuka kedai peninggalan ayahku dan mendapati bahawa
dia hanya meninggalkan sedikit harta dan banyak hutang. Maka aku terpaksa
menjelaskan dan membayar kesemua hutang ayahku dengan membayarnya
beransur-ansur. Aku mula melakukan jual-beli dan membayar hutang ayahku minggu
demi minggu, hingga akhirnya aku berjaya menjelaskan kesemua hutang ayahku dan
modalku mula bertambah. Suatu hari, ketika aku sedang duduk di kedaiku,
datanglah ke pasar seorang gadis muda yang cantik, yang kecantikannya belum
pernah kulihat tandingannya, berpakaian mewah dan dihiasi permata. Dia menaiki
seekor keledai betina, dengan seorang hamba sahaya berkulit hitam berjalan di
hadapannya dan seorang lagi di belakangnya. Gadis itu turun dari keledainya dan
terus memasuki pasar. Baru saja dia melangkahkan kakinya ke pasar, seorang
pengawal datang mengikutinya dan berkata,
"Tuan
puteri, masuklah, tapi jangan sampai ada orang yang mengenalimu, sebab kita
akan menghadapi kesukaran.
"
Lalu pengawal itu berdiri berjalan di hadapan sang gadis, sambil melihat-lihat
kedai. Tetapi kerana mendapati tidak ada kedai yang buka kecuali kedaiku, gadis
itu mendatangi kedaiku. Gadis itu menegurku, lalu duduk.... Tiba-tiba fajar pun
menyingsing. Abu Nawas terdiam,
lalu
sang Raja berkata, "Ceritamu benar-benar aneh dan indah!
"
Abu Nawas menjawab, "Esok malam ceritanya lagi menarik dan lagi
indah."