Di mata Khalifah Harun al-Rasyid figur Abu Nawas memang
lihai, dia tidak hanya lucu tetapi juga bijaksana sehingga tidak dapat
dipandang enteng. Di satu pihak hal itu sangat membanggakan khalifah,
tetapi di lain pihak, sangat menjengkelkannya, karena ia suka kurang
ajar dan tidak tahu diri. Oleh karena itu baginda tidak pernah berhenti
memeras otak untuk dapat membalas Abu Nawas.
Pada suatu hari di bulan Rabiulawal, baginda khalifah tersenyum simpul sendiri sambil bergumam, “Awas kau, Abu Nawas, kali ini pasti kena.”
Pada suatu hari di bulan Rabiulawal, baginda khalifah tersenyum simpul sendiri sambil bergumam, “Awas kau, Abu Nawas, kali ini pasti kena.”
Seperti biasa setiap bulan Rabiulawal, Sultan Harun Al-Rasyid
menyelenggarakan acara Maulid Nabi di istana. Pada saat itu semua
pembesar negeri hadir termasuk putra-putra mahkota dari negeri-negeri
sekitarnya, tapi Abu Nawas tidak tampak.
“Panggil dia kemari,” perintah khalifah kepada punggawa.
Setelah Abu Nawas datang menghadap, dimulailah acara hari itu. Semua
hadirin dipersilahkan berdiri, kemudian masing-masing disirami air mawar
yang menebarkan bau sangat harum, kecuali Abu Nawas. Ia disiram dengan
air kencing.
Sadarlah Abu Nawas, bahwa dia dipermalukan khalifah didepan para pembesar negeri. Ia bungkam seribu basa, namun di dalam hati ia berkata, “Oke, khalifah, hari ini kau beri aku kuah, esok akan kubalas kamu dengan isinya.”
Sadarlah Abu Nawas, bahwa dia dipermalukan khalifah didepan para pembesar negeri. Ia bungkam seribu basa, namun di dalam hati ia berkata, “Oke, khalifah, hari ini kau beri aku kuah, esok akan kubalas kamu dengan isinya.”
Selesai upacara, semua orang pamitan kepada baginda dan pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Abu Nawas.
Sejak itu Abu Nawas tidak pernah menginjakkan kakinya ke Istana. Tak kurang khalifah pun rindu berat kepadanya. Karena bagaimanapun Abu Nawas selalu dapat menghibur hatinya. Ada saja celotehan-celotehan Abu Nawas yang membuat suasana balairung jadi hidup.
Ketika khalifah memanggilnya, Abu Nawas tidak bersedia memenuhi
panggilan itu, dengan alasan sakit, meski panggilan tersebut disampaikan
terus menerus. Setiap kali punggawa datang setiap kali itu pula Abu
Nawas bilang sakitnya makin serius.
Baginda pun khawatir dengan sakitnya Abu Nawas, maka ditengoknya Abu Nawas ke rumahnya di iringi beberapa orang petinggi kerajaan.
Baginda pun khawatir dengan sakitnya Abu Nawas, maka ditengoknya Abu Nawas ke rumahnya di iringi beberapa orang petinggi kerajaan.
Mendengar khalifah menuju ke rumahnya, Abu Nawas buru-buru pasang aksi. Mata terpejam, badan tergeletak lemah lunglai. Namun sebelum itu ia telah menyuruh istrinya menyiapkan obat makjun, ramuan obat yang dibuat seperti dodol bulat, dan dua butir di antaranya dibubuhi tinja. Abu Nawas menelan sebutir obat itu ketika baginda sudah sampai di depannya.
“Hai Abu Nawas, apa yang kamu telan itu?” tanya khalifah.
“Inilah yang disebut obat makjun,” jawab Abu Nawas masih dalam posisi
telentang. “Resepnya hamba peroleh tadi malam lewat mimpi. Seorang tua
menghadap hamba dan berpesan agar obat makjun ini hamba telan dua butir,
niscaya sembuh,” setelah Abu Nawas menelan sebutir lagi dan tampak
badannya segar layaknya orang sembuh dari sakit.
“Kalau begitu aku juga mau makan obat makjun itu,” kata khalifah.
“Baiklah, tuanku,” kata Abu Nawas. “Bila paduka akan menelan obat
ini, hendaklan berbaring seperti hamba sekarang ini, tidak boleh sambil
duduk, apalagi dengan berdiri.”
Maka baginda pun berbaring.
“Pejamkan mata tuanku,” kata Abu Nawas.
Begitu mata Sultan terpejam, Abu Nawas cepat-cepat memasukkan butiran
makjun itu ke mulut khalifah. Tiba-tiba khalifah bangkit karena obat
itu menyangkut di batang tenggorokannya. Sambil membelalakkan matanya,
Sultan berkata keras-keras. “Hai, Abu Nawas, kamu beri aku makan tinja
ya?”
Maka Abu Nawas pun menghormat sambil berkata, “Dulu baginda memberi
hamba kuahnya, sekarang hamba memberi baginda isinya. Jikalau baginda
tidak memberi hamba uang seratus dinar, kejadian ini akan hamba
ceritakan kepada khalayak ramai.”
“Diam kamu, jangan ngomong kepada siapa-siapa, nanti ku beri kau uang seratus dinar ,” kata khalifah.
Setelah itu khalifah dan semua pengiringnya kembali ke Istana, menyiapkan pundi-pundi berisi uang seratus dinar.
Referensi kisah dari Alkisah Nomor 08 / 12-25 April 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar