Sejak usai salat zuhur sampai menjelang magrib tadi, Abu Nuwas keliling Baghdad sambil membawa lampu penerang.
Di setiap sudut rumah dia berhenti, celingak-celinguk kanan-kiri,
sambil tangannya yang membawa lampu minyak digoyang-goyangkan. Setelah
itu dia kembali berjalan dengan lampu tetap di tangan.
Tingkah Abu Nuwas ini tentu saja menggegerkan penghuni Baghdad.
Bagaimana mungkin orang secerdas Abu Nuwas berjalan di siang hari ketika
sinar matahari menyorot tajam sambil membawa lampu?
‘’Abu Nuwas mulai gila,’’ kata seorang warga Baghdad.
‘’Khalifah Harun Al-Rasyid pasti malu punya staf ahli gila,’’ celetuk yang lain.
Tapi Abu Nuwas tak peduli. Esok harinya lagi-lagi pujangga
Baghdad itu keluar rumah, kali ini bahkan lebih pagi, sambil tetap
membawa lampu minyak. Dia tak bersuara dan terus bekerja:
celingak-celinguk kanan-kiri, sambil tangannya yang membawa lampu minyak
digoyang-goyangkan.
Di hari kedua itu, beberapa orang masih menganggap Abu Nuwas
waras. Makanya mereka bertanya apa yang dicari Abu Nuwas di siang hari
dengan lampu di tangan. Abu Nuwas menjawab singkat:
‘’Saya sedang mencari neraka.’’
Ah, Abu Nuwas mulai gila, pikir mereka.
Maka, ketika di hari ketiga Abu Nuwas tetap melakukan hal yang
sama: celingak-celinguk kanan-kiri di rumah orang, sambil tangannya yang
membawa lampu minyak digoyang-goyangkan, orang-orang mulai tak sabar.
Undang-undang Baghdad melarang orang gila berkeliaran. Berbahaya.
Seseorang bisa membunuh orang lain dengan berpura-pura gila, atau
mengintip orang mandi dengan pura-pura gila.
Karena itu cerita selanjutnya mudah ditebak: Abu Nuwas ditangkap
lalu diserahkan ke istana. Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid malah
gembira, kegilaan Abu Nuwas bisa mereka ‘’goreng’’ untuk menyudutkan
wibawa khalifah.
Benar saja, khalifah Harun malu bukan main lalu bertanya dengan nada keras:
‘’Abu Nuwas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?’’
‘’Hamba mencari neraka, paduka yang mulia,’’ jelas Abu Nuwas lancar, tak ada tanda-tanda dia gila.
‘’Kamu gila, Abu Nuwas. Sohih, kamu gila!’’
‘’Tidak paduka, merekalah yang gila.’’
‘’Siapa mereka?’’
Abu Nuwas lalu meminta orang-orang yang tadi menangkap dan
menggiring dirinya menuju istana dikumpulkan di depan istana. Jumlah
mereka ribuan – ya siapa orangnya yang tak menuduh Abu Nuwas gila jika
khalifah sendiri menduganya gila? Setelah mereka berkumpul di depan
istana, Abu Nuwas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.
‘’Wahai
kalian yang mengaku waras,’’ teriak Abu Nuwas kepada orang-orang di
depannya, ‘’apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda
pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?’’
‘’Benaaaaar.’’
‘’Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?’’
‘’Betuuuuuul. Dasar sesat!’’
‘’Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?’’
‘’Hai Abu Nuwas, kamu gila ya? Orang munafik pasti masuk neraka! Dasar munafik, kamu!’’
‘’Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana
neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?’’ jawab Abu Nuwas
dengan tenang, sambil kali ini lampu di tangannya diangkat tinggi-tinggi
seolah dia mencari sesuatu.
Kali ini orang-orang di depan khalifah Harun mulai tak sabar.
Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nuwas dan lampu di tangannya.
‘’Hai Abu Nuwas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?’’
‘’Paduka, mohon maaf,’’ kata Abu Nuwas kepada khalifah Harun.
‘’Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang
punya neraka itu adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali
menentukan orang lain masuk neraka? Apakah mereka asisten Allah yang
tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?’’
Ha-haaa-ha … Khalifah Harun Al-Rasyid tertawa kecil. Di matanya
Abu Nuwas tetaplah lelaki jenaka. Dia lalu berkata sambil tertawa: ‘’Abu
Nuwas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu,
jebloskan orang-orang ini ke dalamnya … ‘’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar