Sabtu, 17 Oktober 2015

Raja Nyaris Terbunuh

Raja Nyaris Terbunuh 
 
Kisah Abu Nawas di malam hari ini akan mengisahkan tentang Abu Nawas yang berhasil menyerahkan Baginda Raja untuk dipotong lehernya kepada para tukang bubur kampung Badui.


Berikut Kisahnya

Pada suatu hari, Abu Nawas berjalan-jalan hingga ke kampung Badui di daerah gurun jauh dari kota tempat tinggalnya.
Sesampainya di tempat tersebut, ditemuinya ada beberapa orang yang sedang memasak bubur, susananya ramai sekali.

Tanpa disadarinya, ia ditangkap oleh orang-orang itu dan dibawa ke rumah mereka untuk disembelih.

"Kenapa aku ditangkap?" tanya Abunawas.
"Wahai orang asing, setiap orang yang lewat di sini pasti akan kami tangkap, kami semebelih seperti kambing dan dimasukkan ke belanga bersama adonon tepung itu. Inilah pekerjaan kami dan itulah makanan kami sehari-hari," jawab salah seorang dari mereka sambik menunjuk ke belanga yang airnya mendidih.

Abu Nawas ketakutan juga, namun meski keadaan sedang terjepit, dia masih sempat berpikir jernih.
"Kalian lihat saja, badanku kurus kering, jadi dagingku tak banyak, kalau kalian mau besok aku bawakan temanku yang badannya gemuk sehingga bisa kalian makan untuk lima hari lamanya. Aku janji, maka tolong lepaskan aku," pinta Abu Nawas.

Karena janjinya itu, Abunawas akhirnya dilepaskan.

Leher dipotong
Di sepanjang jalan Abu Nawas berpikir keras untuk menemukan siasat agar dirinya berhasil membawa teman yang gemuk. Terlintas olehnya Baginda Raja.
"Seharusnya Raja tahu akan berita yang tidak mengenakkan ini, dan alangkah baiknya kalau Baginda Raja mengetahui sendiri," gumannya dalam hati.

Abu Nawas segera saja masuk ke dalam istana untuk menghadap Raja.
Dengan berbagai bujuk rayu, akhrinya Abunawas berhasil mengajak Baginda Raja ke kampung badui tersebut.

Sesampainya di kampung badui tersebut, si pemilik rumah tanpa banyak bicara langsung saja menangkapnya. Abu nawas segera meninggalkan tempat itu dan dalam hati dia berpikir,
"Bila Raja pintar, pasti niscaya dia akan bisa membebaskan diri. Tapi kalau bodoh, akan matilah ia karena akan disembelih orang jahat itu."



Sementara itu, didalam rumah Baginda tidak menyangka akan disembelih.
Dengan takutnya dia berkata,
"Jika membuat bubur, dagingku ini tidaklah banyak karena banyak lemaknya. Tapi jika kalian izinkan, kalian akan aku buatkan peci kemudian dijual yang harganya jauh lebih mahal ketimbang harga buburmu itu."

Akhirnya mereka menyetujuinya.
Baginda telah beberapa hari tidak terlihat di istananya, ia bekerja keras untuk membuat peci untuk orang badui itu. Namun pada akhirnya beberapa ke depan Baginda dibebaskan oleh para pengawalnya.



Hukuman untuk Abunawas

Setelah Baginda dibebaskan, barulah Abu Nawas dipanggil untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Abunawas dianggap telah mempermalukan rajany di muka rakyatnya sendiri.

"Wahai Abu Nawas, engkau ini benar-benar telah mempermalukan aku, perbuatanmu sungguh tidak pantas dan kamu harus dibunuh," ujar Raja Harun geram.
"Ya Tuanku, sebelum hamba dihukum, perkenankan hamba menyampaikan beberapa hal," kata Abu Nawas membela diri.
"Baiklah, tetapi kalau ucapanmu salah, niscaya engkau akan dibunuh hari ini juga," ujar Baginda Raja.

"Wahai Tuanku, alasan hamba menyerahkan kepada si penjual bubur itu adalah ingin menunjukkan kenyataan di dalam masyarakat negeri ini kepada paduka. Karena semua kejadian di dalam negeri ini adalah tanggung jawab baginda kepada Allah SWT kelak. Raja yang adil sebaiknya mengetahui perbuatan rakyatnya," kata Abu Nawas.

Setelah mendengar ucapan Abu Nawas yang demikian, hilanglah rasa amarah baginda Raja. Dalam hati beliau membenarkan ucapan Abunawas tersebut.
"Baiklah, engkau aku ampuni atas semua perbuatanmu dan jangan melakukan perbuatan seperti itu lagi kepadaku," tutur baginda raja.
Tertipu Sandal Ajaib
Sudah hampir mendekati akhir bulan, namun kisah abu nawas belum memposting satupun tentang sosok Abunawas. Kiranya hampir terlupakan sob.
Namun pada akhirnya Kisah Abunawas hadir kembali dengan kisah-kisah lucunya.

Ada-ada saja ulah Abu nawas ini, tapi maksud dan tujuannya sebenarnya baikm yaitu menyadarkan orang-orang kaya yang sekampung dengannya agar selalu ingat kepada Alloh SWT. Agar mereka sadar dari perbuatan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara apapun.

Nah, ide cemerlangnya kali ini adalah sebuah sandal ajaib.
Berkat sandal ajaib ini, akhirnya salah seorang diantara mereka bertobat kepada Allah SWT.

Berikut Kisahnya
Kampung tempat tinggal Abu Nawas lama kelamaan membuatnya merasa tak nyaman karena saking banyaknya umat Islam yang menumpuk-numpuk harta dengan menghalalkan segala cara. Otomatis hal ini membuat Abu Nawas gusar, karena sebagai seorang ulama, Abu Nawas berfikir bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran islam.

Untuk menghentikan perbuatan buruk tersebut, Abunawas memutar otak mencari ide yang tepat untuk menyadarkan banyak orang.
Setelah berpikir panjang, akhirnya ia menemukan ide cemerlang yaitu ide sandal ajaib. Dengan mengambil peralatan sederhana, berangkatlah ia ke pasar untuk gelar tikar menjual sandal-sandal.

"Sandal ajaib...sandal ajaib....sandal ajaib," kata Abunawas berkali-kali di pasar.
Sesaat kemudian muncullah salah seorang pemuda yang melihat-lihat barang dagangannya.
"Silahkan Tuan, mau mencari apa?" tanya Abunawas.
"Saya ingin mencari sandal yang bisa merubah hidupku yang miskin ini," jawab pemuda itu.
"Apa maksud Tuan?" tanya Abunawas lagi.
"Saya ini sudah lama hidup miskin dan ingin sekali kaya raya. Saya ingin membeli barang yang bisa memberikan saya keberuntungan," kata pemuda itu.

Sandal Ajaib

Sejurus kemudian Abunawas menunjukkan salah satu sandal ajaibnya. Ia mengatakan bahwa sandal itu akan membikin penggunanya dari tak punya menjadi orang yang punya. Karena tertarik, pembeli itu akhirnya jadi juga membeli sandal ajaib itu dengan harga yang lumayan mahal.

Si pemuda langsung saja memakai sandal ajaib itu berkeliling kampung dengan harapan semoga keberuntungan segera berpihak kepadanya. Akan tetapi, harapannya tak kunjung terwujud. Jangankan keberuntungan, si pemuda malah dikira pencuri di kampung tersebut. Untung saja para warga tak sampai menghakiminya.

Karena merasa tertipu, pemuda itu kembali lagi menemui Abu Nawas untuk protes.
"Assalamu'alaikum..." sapa pemuda itu.
"Wa'alaiukm salam..., eh ternyata Tuan, bagaimana kabar Tuan?" tanya Abu Nawas.
"Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan gara-gara sandal ini. Padahal dulu engkau mengatakan kalau sandal ini bisa mendatangkan keberuntungan, bisa menjadi kaya dan terkenal, tapi mana buktinya?" protes si pembeli.

"Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu Tuan?" sergah Abu Nawas.
"Saya hanya mengatakan bahwa bila Tuan pada mulanya orang yang tidak punya, maka dengan membeli sandal ini Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang Tuan sudah memiliki sandal ajaib ini," kata Abu Nawas.

Pembeli Bertobat

Begitu mendengar penuturan Abunawas, pemuda itu hanya bisa diam, ia menyadari bahwa dirinya sedang salah tafsir.
"Lalu mengapa engkau mengatakan bahwa sandal ini ajaib?" tanya pembeli.
"Karena merk sandal ini adalah ajaib, sandal ajaib," jawab Abunawas.

Akhirnya pemuda itu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
"Tunggu Tuan, saya ingin mengatakan sesuatu kepada Tuan. Mungkin saja akan ada manfaatnya," kata Abu Nawas.

"Jangan percaya kepada barang ajaib, karena percaya pada sesuatu selain Allah SWT bisa membuat kita syirik dan akan mendapatkan kesusahan di dunia dan akhirat kelak. Buktinya sebagaimana yang Tuan alami ini, oleh karena itu, segeralah bertobat kepada Alloh SWT," kata Abu Nawas.

Mendengar penuturan Abu Nawas, sepertinya pemuda itu menyadari kesalahannya. Ternyata banyak sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah SWT.
Mulai saat itulah ia bertobat kepada Allah SWT.
Selamatkan Raja dengan Sorban Usang

Kisah Abu Nawas, tak ada habisnya untuk diceritkan hingga kapan pun.
Seperti pada kali ini, Kisah Abu Nawas Blog akan mengisahkan sepak terjang, kecerdikan Abu Nawas dalam menyelamatkan rajanya dari rongrongan para pengkhianat.

Selidik punya selidik, ternyata yang telah melakukan pengkhianatan adalah para menteri raja sendiri. Berkata bantuan Abu Nawas yang pandai ini, akhrinya bisa ditemukan juga nama menteri yang telah berkhianat.

Berikut Kisahnya
Pada suatu hari di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Ar-Rasyid telah terjadi huru hara. Rakyatnya tidak lagi mendapat ketenangan seperti biasanya karena telah terjadi penculikan dan pembunuhan yang misterius.

Raja dan para prajuritnya akhirnya mengetahui bahwa huru-hara tersebut bukan datang dari musuh, namun dari dalam istana sendiri yang diotaki oleh para menterinya.
Namun, raja sangat kesulitan untuk mencari siap yang berseongkol terhadap tindakan penculikan dan pembunuhan tersebut karena dia melihat bahwa para menterinya semuanya taat kepadanya.



Dari itu, dipanggillah Abu Nawas yang dikenal memiliki otak yang cerdas.
"Kahir-akhir ini aku gelisah, seolah ada seseorang yang hendak mengkudeta kerajaanku. Apa ada yang salah dengan kepemimpinanku?" tanya raja kepada Abu Nawas.
"Ampun beribu ampun baginda, apa yang bisa hamba lakukan untuk membantu?" tanya Abu Nawas.
"Begini wahai Abu Nawas, berilah cara kepadaku untuk menguji kesetiaan para menteriku," kata raja dengan iming-iming hadiah.
"Baiklah paduka, berilah hamba waktu sehari saja agar bisa memikirkan caranya," ujar Abunawas sambil bernjak meninggalkan rajanya.

Tes Kesetiaan menteri-menteri
Setibanya di rumah, Abunawas berpikir keras untuk menemukan cara yang terbaik dan jitu. Karena kelelahan, Abu Nawas akhirnya tertidur dengan lelapnya.

Pada keesokan harinya ketika ia hendak shalat subuh,ia menemukan sorban yang berbau tidak sedap. Sorban itu memang telah lama tidak dicuci oleh istrinya. Dari situlah Abunawas menemukan cara jitu untuk menguji kesetiaan para menteri kerajaan.

Setelah shalat subuh, Abu Nawas segera bergegas menuju istana kerjaaan untuk menghadap Raja Harun Ar-Rasyid.
Abu Nawas meminta raja untuk bersandiwara seolah telah memiliki sorban sakti.
Raja Harun seteju dan melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Abu Nawas.

Setelah itu, maka dikumpulkanlah kelima menterinya untuk menghadap.
Di hadapan para menteri itu, raj mengatakan bahwa ia telah mendapat hadiah berupa sorbansakti hasil pemberian dari kerajaan lain. Dan salah satu kesaktian sorban itu adalah bisa menentukan masa depan kerajaan di masa yang akan datang.

"Wahai para menteriku, bantulah aku untuk menentukan masa dean negeri ini," titah raja.
"Bagaimana caranya wahai Baginda?" tanya salah seorang menteri.
"Masing-masing dari kalian, coba ciumlah sorban hadiah ini secara bergantian. Apabila berbau wangi, maka kerajaan ini akan abadai. Namun, billa baunya busuk, maka kerajaan ini tidak akan lama lagi akan segera runtuh," jelas raja.

Kehebatan Sorban Usang
Sesuai dengan perintah raja, para menteri satu persatu memasuki ruangan untuk mencium sorban sakti tersebut. Setelah semuanya telah mendapatkan giliran, maka dikumpulkanlah lagi menteri-menterinya.

"Bagaimana baunya," tanya raja.
"Sorban ini baunya sangat harum, niscaya kerajaan ini akan abadi," jawab menteri pertama.
Menteri kedua dan ketiga menjawab sama dengan menteri pertama. Intinya adalah mereka berusaha untuk membuat rajanya senang.

Giliran menteri keempat dan kelima angkat bicara.
Di luar dugaan, menteri keempat dan kelima ini mengatakan bahwa sorab sakti tersebut baunya busuk dan menyengat hidung.
Mendengar penyataan menteri keempat dan kelima itu, raja kahirnya membuka rahasia bahwa sorban yang dikiranya sakti tersebut adalah milik Abunawas yang sudah usang dan tidak dicuci lama sekali.

Bergetarlah badan dari menteri pertama,kedua dan ketiga.
"Kini aku tahu siapa diantara kalian yang telah berkhianat kepadaku. Kalian telah terbukti berbohong dan kalian pantas untuk masuk penjara," ujar raja Harun.
Menteri pertama,kedua dan ketiga segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

Kepada menteri keempat dan kelima, Raja Harun memberikan hadiah kepada mereka karena kesetiaan yang telah diberikan. Tak lupa juga, Abu Nawas mendapat agian hadiah yang telah dijanjikan oleh Raja Harun kemarin hari.
Lomba Mimpi di Bulan Ramadan
Setiap bulan Ramadan, umat islam diwajibkan berpuasa, tak terkecuali Abu Nawas. Abunawas merupakan salah satu orang yang rajin berpuasa meskipun banyak teman-temannya yang tidak berpuasa di bulan tersebut.

Bagi temannya yang tidak berpuasa, mereka mencoba mengakali sehingga Abunawas tidak bisa berbuka puasa karenanya. Lewat kecerdikannya, akhirnya Abu Nawas berhasil makan.
Tuh kan Abu Nawas.



Kisahnya.
Pada siang di bulan Ramadan, Abunawas didatangi oleh dua orang temannya yang tidak berpuasa. Mereka bersekongkol untuk ngerjai Abu Nawas.
Tibalah mereka di depan pintu rumah Abu Nawas. Setelah mengucapkan salam, tanpa basa basi lagi mereka mengajak Abu Nawas ngabuburit (mengisi waktu untuk menunggi berbuka puasa.

Sampailah mereka di warung nasi, dan teman-temannya membeli nasi untuk dibungkus. Abu Nawas mengira kalau teman-temannya sangat menghormati orang yang berpuasa meski mereka tidak puasa karena temannya tidak makan di warung tersebut, namun di bawa pulang.

Waktu Berbuka Puasa.
Setelah itu, mereka pergi meninggalkan warung tersebut dan sampailah di rumah salah satu temannya. Begitu tiba berbuka puasa, Abu Nawas berkata,
"Wah, sudah waktunya berbuka."
"Minum saja dulu biar batal puasamu," kata temannya.
Abu Nawas pun segera minum dan selanjutnya menunggu. Teman mereka bilang,
"Silahkan shalat dulu, nanti ketinggalan shalat maghrib," kata salah satu temannya.

Abu Nawas pun kemudian mengambil air wudhu dan menjalankan shalat maghrib. Namun apa yang terjadi, setelah shalat maghrib pun Abu Nawas belum bisa makan nasi karena temannya menyuruh agar mengaji Al Qur'an terlebih dahulu.
"Mengajilah Al Qur'an terlebih dahulu, mumpung perutmu masih kosong. Nanti kalau sudah kenyang kamu mengantuk," kata teman Abu Nawas.

Abu Nawas merasa jengkel, seakan dikerjai oleh teman-temannya. Meski begitu Abu Nawas nurut dan mengaji Al Qur'an.
Setelah mengaji, Abu Nawas malah diajak lomba tidur. Siapa yang mimpinya paling indah maka dia berhak menyantap makanan.
"Abu Nawas, sekarang mari kita lomba tidur, esok pagi siapa yang mimpinya paling indah dia bisa makan makanan ini," kata salah seorang temannya.

Lomba Mimpi Indah.
Abu Nawas mulai sadar kalau dirinya dikerjai teman-temannya.
Lomba tidur tersebut disanggupi oleh Abu Nawas dengan perasaan marah.
Pada esok paginya, mereka bertiga bangun. Salah satu temannya bercerita,
"Aku semalam mimpi indah sekali, mimpi punya mobil mewah, rumah mewah, pesawat pribadi dan punya uang banyak sekali."
"Mimpimu indah, tapi egois sekali," kata teman yang satunya.

Kemudian teman yang satunya lagi mencerikan mimpinya.
"Aku semalam bermimpi bahwa negeriku ini tidak punya hutang, infrastrukturnya bagus sekali, jalan-jalan yang mulus, pelabuhan-pelabuhan lancar, ongkos transportasi murah, rakyat sejahtera hingga aku tidak bertemu orang yang berhak menerima zakat."
"Wah, mimpimu hebat," kata temannya.
"Sekarang coba ceritakan mimpimu wahai Abu Nawas."

Abu Nawas bercerita,
"Mimpiku biasa saja. Semalam aku bermimpi bertemu Nabi Daud as, Nabi yang gemar berpuasa. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari begitu terus tiap waktu. Kemudian Nabi Daud as bertanya,
"Apakah engkau sudah berbuka wahai Abu Nawas?"
Saya jawab belum, kata Abu Nawas.
Kemudian Nabi Daud as menyuruh aku berbuka puasa dahulu. Kontan saja aku cekatan bangun, mengambil makanan yang sudah kalian belikan."

Mimpi Abu Nawas sangat disesali oelh kedua temannya.
Mereka kalah cerdik dengan akal Abu Nawas.
Niat untuk ngerjai, eh malah dikerjai Abu Nawas.


Kisah Abu Jahal Dicambuk Malaikat

Blog Kisah Abu Nawas muncul lagi dengan kisah lain yang tidak kalah menarik untuk dibaca yaitu Kisah Abu Jahal yang dicambuk oleh Malaikat Kubur.
Abu Jahal mati secara mengenaskan dalam perang Badar Kubro.
Dalam perang itu ia ditaklukkan oleh anak muda.
Setelah dikubur, pemuka Quraisy itu mendapatkan siksaan dari malaikat di alam kubur.

Berikut kisahnya
Dalam sejarah Islam telah dicatat, sahabat Abdurrahman bin Auf menceritakan bahwa ketika ia berada di tengah-tengah Perang Badar Kubro, ia melihat dua anak muda yang gagah berani itu.
Salah satu diantaranya lalu menghampirinya.

"Paman, tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal," katanya dengan lantang.
"Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya," tanya Abdurrahman.
"Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah, dan aku pun berjanji kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati ditangannya," jawab anak muda itu.

Abu Jahal Kalah dan Mati
Abdurrahman pun dibuat kaget dibuatnya, lalu pemuda yang satunya lagi memeluknya dan mengatakan hal yang sama kepada Abdurrahman.
Seketika itu juga Abdurrahman melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang.
"Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi," tutur Abdurrahman.

Kedua pemuda itupun saling berlomba mengayunkan pedangnya kepada Abu Jahal hingga keduanya berhasil membunuhnya.
Itulah sekelumit kisah kematian Abu Jahal, dan beberapa lamanya diketahui bahwa Abu Jahal tengah mendapatkan siksa kubur.
Kisah yang mengesankan itu diceritakan oleh sahabat Ibnu Umar r.a.

Suasana Kuburan Abu Jahal
Pada suatu hari Ibnu Umar melakukan perjalanan dan melewati daerah bekas Perang Badar Kubro.
Ketika sedang melintas di daerah tersebut, tiba-tiba dari dalam tanah yang ada di hadapannya keluar sesosok manusia dan meminta sesuatu darinya.
"Wahai Abdullah, berilah saya air minum. Saya sangat haus," kata sosok manusia itu beberapa kali.

Ibnu Umar seketika bingung apakah orang tersebut memanggila namanya dengan nama Abdullah (Ibnu Umar atau Abdullah Ibnu Umar), ataukah memanggil nama orang lain.
Karena kebiasaan orang Arab, memanggil nama orang yang tidak dikenal dengan panggilan Abdullah juga.
Tak lama kemudian, di dekat orang yang pertama tadi, bangkit juga dari dalam tanah satu sosok dengan membawa sebuah cambuk.

"Wahai Ibnu Umar, jangan engkau beri orang ini air minum dan jangan dengar ucapannya," katanya.

Dicambuk Malaikat
Lalu sesosok itu mencambuk orang yang pertama bangkit itu hingga orang tersebut kembali masuk ke dalam tanah.
Melihat kejadian itu, Ibnu Umar segera menjumpai Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang dialaminya.

Mendengar cerita Ibnu Umar, Rasulullah SAW balik bertanya,
"Benarkah apa yang kamu ceritakan itu tadi wahai Abdullah Ibnu Umar?" tanya Rasulullah SAW.
"Benar ya Rasulallah," jawabnya dengan tegas.

Maka Rasulullah SAW berkata keada Ibnu Umar bahwa orang pertama yang keluar dari dalamtanah itu adalah Abu Jahal yang mati dalam Perang Badar Kubro.
Sedangkan sosok kedua yang keluar dari dalam tanah tersebut adalah seorang malaikat kubur.
Malaikat tersebut menyiksa Abu Jahal karena perbuatan yang dilakukan Abu Jahal semasa hidupnya.
Nauzubillah Min Zalik..

 



Biografi Abu Nawas
Abu Nawas
Berikut sedikit penjelasan mengenai Biografi Abu Nawas
Biografi Abu Nawas -Abu Nawas bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya.
Ayahnya bernama Hani al-Hakam. Beliau lelaki keturunan Arab yang merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Yaqub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Saad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Dalam Kumpulan Kisah Abu Nawas diceritakan Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Biografi Abu Nawas diceritakan juga Dalam Al-Wasith fil Adabil Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (syairul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan -tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811M. Sementara yang lain tahun 198H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad. (berbagai sumber)
Demikianlah Sekilas Tentang Biografi Abu Nawas, yang dapat penulis jelaskan, semoga artikel ini bermanfaat dan dapat menjadikan kita lebih mengenal sosok si Pintar dari negeri Baghdad. Dilain kesempatan nantikan artikel selanjutnya mengenai Kumpulan Kisah Abu Nawas.

Abu Nawas diusir dari Kota
Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri kelahirannya sendiri. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negerinya tercinta hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas.

"Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jubah putih. Ia berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bemama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. Ia harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. Ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain."

Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata. Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang tertalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik dari pada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?


Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. "Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain."

Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat, menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ia melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman. Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira.

Desas-desus tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung. Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman. Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pemah membayangkan kalau Abu Nawas temyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa dikatakan telah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.
Memindahkan Istana ke atas Gunung
Baginda Raja baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.

Tanpa membuang waktu Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, "Abu Nawas engkau harus memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda sambil melirik reaksi Abu Nawas.

Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum. Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi, permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan. Abu Nawas pulang dengan hati masgul.


Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana. Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. Ia menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.

"Ampun Tuanku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda..." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas. "Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui. Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.

Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pemah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini. Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan sholat Hari Raya Idul Qurban.

Dan seusai sholat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin. Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, "Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"

"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat. Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. Ia berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.

"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.

"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas. "Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.

"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka." Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.
Abu Nawas Menagkap Angin
Abu Nawas kaget bukan main ketika seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya. Ia harus menghadap Baginda secepatnya. Entah permainan apa lagi yang akan dihadapi kali ini. Pikiran Abu Nawas berloncatan ke sana kemari. Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.

"Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya." kata Baginda. Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Ia yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihariapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.


Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar - benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda, Ia berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.

"Bukankah jin itu tidak terlihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. ia berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian manuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya. Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.

"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas? "
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang batol itu.
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda. Di dalam, Tuanku yang mulia." jawab Abu Nawas penuh takzim. "Aku tak melihat apa-apa." kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu." kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah. "Ampun Tuanku yang mulia, tedi hamba buang angin dan hamba. masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol." kata Abu Nawas ketakutan.

Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. "Heheheheh kau memang pintar Abu Nawas."

Tapi... jangan keburu tertawa dulu, dengar dulu apa kata Abu Nawas. "Baginda...!"
"Ya Abu Nawas!"
"Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini."
"Lalu apa maksudmu Abu Nawas?"
"Hamba. minta ganti rugi."
"Kau hendah memeras seorang Raja?"
"Oh, bukan begitu Baginda."
"Lalu apa maumu?"
"Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan."
"Kalau tidak?" tantang Baginda.
"Kalau tidak... hamba akan menceritakan kepada khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba!"
"Hah?" Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. "Baik permintaanmu kukabulkan!"
Baginda Menjadi Budak
Kadangkala untuk menunjukkan sesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata kepala sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup sengsara. Ada saja praktek jual beli budak.

Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja. Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang giliran Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.

Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid. "Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia."
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung tertarik.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pemah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan.
"Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya." kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Tetapi Baginda..." kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu." kata Abu Nawas.


Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas. Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah hutan. Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu Nawas menemui seorang Badui yang pekerjaannya menjual budak.

Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu.

Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu. Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak menghampirinya. Ia belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di situ.
"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.
"Aku adalah tuanmu sekarang." kata pedagang budak itu agak kasar. Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
"Apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya." kata pedagang budak dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda makin murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?" tanya Baginda geram.
"Tidak dan itu tidak perlu." kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan diperintahkan untuk membelah kayu. Begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus mengerjakannya.

"Ayo kerjakan!"
Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si Badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.
"Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali!"

Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam terarah ke kayu. Ia mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si Badui.

"Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga." gumam Sultan Harun Al Rasyid. Si Badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama menjadi marah. Ia merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.

"Hai Badui! Cukup semua ini aku tak tahan."
"Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!" kata Badui itu sembil memukul baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang itu menjerit keras saat dipukul kayu.
"Hai Badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid." kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.

Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja. Ia pun langsung menjatuhkan diri sembil menyembah Baginda Raja. Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.
Cara Membagi Hukuman
Ada-ada saja siasat Abunawas ini untuk lolos dari segala tipu daya lawan serta ujian raja. Sang raja meminta untuk menghadirkan ibu Abunawas di hadapannya meski raja tahu bahwa kalau ibunya Abunawas ini telah meninggal.

Kisahnya, Pada suatu pagi yang cerah, Abunawas datang ke istana karena dipanggil untuk menemani sang raja yang sudah lama kangen akan cerita lucu Abunawas.
Mereka berbincang-bincang dengan riang gembira. Setelah sekian lama berbincang, raja tiba-tiba saja ingin menguji kepandaian Abunawas.
“Wahai Abunawas, besok bawalah ibumu ke istanaku, nanti engkau akan aku beri hadiah seratus dinar,” kata raja harun Ar-Rasyid.
Abunawas kaget sekali mendengar titah rajanya. Bagaimana tidak, raja sudah tahu kalau ibunya telah lama meninggal dunia, bahkan raja ikut melayat ke rumah Abunawas. Namun, karena iming-iming hadiah yang sangat menggiurkan itu, Abunawas bukannya mengelak malah dia menyetujui permintaan raja tersebut.
Sesampainya di rumah, Abunawas sangat sibuk sekali untuk mencari seorang wanita tua yang kemudian nantinya akan dijadikan ibunya dan dibawa ke istana.
Setelah lama mencari, akhirnya orang yang diinginkan akhirnya ketemu juga. Dengan panjang lebar Abunawas menjelaskan maksudnya kepada perempuan itu. Ia pun berjanji akan membagi hadiah yang akan diterimanya dengan adil, separuh-separuh. Tanpa pertimabangan lagi, perempuan itu menyetujui permohonan Abunawas.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Abunawas sudah sampai di istana sambil menggendong seorang perempuan tua.
“Wahai Abunawas, diakah ibumu?” tanya sang raja.
“benar Tuanku, inilah ibuku. beliau sudah tua dan kakinya lemah sehingga hamba harus menggendongnya ke istana,” tutur Abunawas.
“Benarkah engkau ibunya Abunawas? Awas ya kalau bohong, maka akan aku hukum dirimu,” tanya raja kepada perempuan tua itu.
Begitu mendengar ucapan rajanya, perempuan itu ketakutan sekali, sehingga ia membuat pengakuan yang sebenarnya, bahwa semua itu adalah sandiwara Abunawas untuk mendapatkan hadiah dari raja.
Raja Harun tertawa cekikian dan akan menghukum abu nawa 100 kali pukulan sebagai hukumannya. “Karena engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu ke sini, aku pun berjanji akan memberimu hadiah seratus dinar, akan tetapi engkau tidak bisa memenuhi janjimu. Dari itu, engkau harus dihukum dengan100 kali pukulan,” kata raja.
Dalam kondisi terdesak itu, Abunawas dengan susah payah memeras otak agar terhindar dari hukuman. Sejenak kemudian, ia sudah menemukan cara ampuh untuk lepas dari hukuman itu. “Wahai Tuanku, hamba berjanji dengan perempuan tua itu akan membagi hadiah yang akan paduka berikan dengan sama rata.
“Karena sekarang hamba dihukum 100 kali pukulan, biarlah yang 50 pukulan saya terima, sedangkan yang 50 pukulan lagi tolong diberikan kepada perempuan tua itu,” kilah Abunawas.
Dalam hati raja berguman, “Jangankan dipukul 50 kali, dipukul satu kali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri.” Akhirnya raja mengambil keputusan bahwa uang yang 50 dinar diberikan kepada perempuan tua itu.
Dalam keadaan tersebut, Abunawas menyela rajanya. “Ampun beribu ampun Paduka, jika ibuku telah mendapat hadiah dari Paduka, tidak adil kiranya kalau anaknya ini dilupakan begitu saja,” protes Abunawas.
:Hmmm….. ¦baiklah, terimalah pula bagianmu ini,” kata raja sambil memberikan uang 50 dinar kepada Abunawas
bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul

Pak Abu : “sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah swt. karena sudah dapat kambing yang pas”
Abdul : “cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu
Abu Nawas Menang Lomba Berburu
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUlSFVzl5c2o6MCSbJSiycFSLffwun_wMR2HHIFRYxac1OiyLA5X3zlytRN6c7x_4hoys-Rzp5b8IUlwKSdvZ2yCuXP4bQ1KsOoXuV5GnygB6Rbfba2I2ySoOg0vgQc5fw-LAN0FCs820/s200/abunanawas-f+%281%29.jpg
Pada suatu hari yang cerah, Raja Harun Ar-Rasyid dan para pengawalnya meninggalkan istana untuk berburu. Namun, di tengah perjalanan, salah satu pejabat kerajaan yang bernama Abu Jahil menyusul dengan terengah-engah di atas kudanya.
“Baginda… Baginda…. hamba mau mengusulkan sesuatu” katanya Abu Jahil mendekati sang Raja. “Apa usulm itu wahai Abu Jahil?... tanya Raja.
“Agar acara berburu ini menarik dan disaksikan banyak penduduk, bagaimana kalau kita sayembarakan saja?” ujar Abu Jahil dengan raut wajah serius.
Baginda Raja terdiam sejenak dan mengangguk-angguk.
“Hamba ingin beradu ketangkasan dengan Abunawas, dan nanti pemenangnya akan mendapatkan sepundi uang emas. Tapi, kalau kalah, hukumannya adalah dengan memandikan kuda-kuda istana selama 1 bulan” tutur Abu Jahil meyakinkan Raja.
Terompet Sayembara Ditiup
Akhirnya sang Raja menyetujui usulan Abu Jahil tersebut. Hitung-hitung sayembara itu akan memberikan hiburan kepadanya. Maka, dipanggillah Abunawas untuk menghadap, dan setelah menghadap Raja Harun, Abunawas pun diberi petunjuk panjang lebar.
Pada awalnya, Abunawas menolak sayembara tersebut karena ia tahu bahwa semua ini adalah akal bulus dari Abu Jahil yang ingin menyingkirkannya dari istana.
Tapi Baginda Raja Harun memaksa dan Abunawas tudak bisa menolak.
Abunawas berpikir sejenak
Ia tahu kalau Abu Jahil sekarang diangkat menjadi pejabat istana. Ia pasti mengerahkan semua anak buahnya untuk menyumbang seekor binatang buruannya di hutan nanti.
Namun , karena kecerdikannya, Abunawas malah tersenyum riang. Abu Jahil yang melihat perubahan raut muka Abunawas menjadi penasaran dbuatnya, batinnya berkata mana mungkin Abunawas bisa mengalahkan dirinya kali ini.
Akhirnya, Baginda menggiring mereka ke tengah alun-alun istana. Raja dan seluruh rakyat menunggu, siapa yang bakal menjadi pemenang dalam lomba berburu ini.
Terompet tanda mulai adu ketangkasan pun ditiup. Abu Jahil segera memacu kudanya secepat kilat menuju hutan belantara. Anehnya, Abunawas justru sebaliknya, dia dengan santainya menaiki kudanya sehingga para penonton banyak yang berteriak.
Menjelang sore hari, tampaklah kuda Abu Jahil memasuki pintu gerbang istana. Ia pun mendapat sambutan meriah dan tepuk tangan dari rakyat yang menyaksikannya. Di sisi kanan dan kiri kuda Abu Jahil tampak puluhan hewan yang mati terpanah. Abu Jahil dengan senyum bangga memperlihatkan semua binatang buruannya di tengah lapanangan.
“…Aku, Abu Jahil berhak memenangkan lomba ini. Lihat..binatang buruanku banyak. Mana mungkin Abunawas mengalahkanku?...” teriaknya lantang yang membuat para penonton semakin ramai bertepuk tangan.
Ribuan Semut
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara kaki kuda Abunawas. Semua orang mentertawakan dan meneriakinya karena Abunawas tak membawa satu pun binatang buruan di kudanya.
Tapi, Abunawas tidak tampak gusar sama sekali. Ia malah tersenyum dan melambaikan tangan.
Baginda Raja menyuruh kepada 2 orang pengawalnya maju ke tengah lapangan dan menghitung jumlah binatang buruan yang didapatkan 2 peserta tersebut.
Dan kesempatan pertama, para pengawal menghitung jumlah binatang hasil buruan dari Abu Jahil.
“Tiga puluh lima ekor kelinci, ditambah lima ekor rusa dan dua ekor babi hutan, kata salah satu pengawal”.
“Kalau begitu akulah pemenangnya karena Abunawas tak membawa seekor binatangpun,” teriak Abu Jahil dengan sombongnya.
“Tenang… tenang…. aku membawa ribuan binatang. Jelaslah aku pemenangnya dan engkau wahai Abu Jahil, silahkan memandikan kuda-kuda istana. Menurut aturan lomba, semua binatang boleh ditangkap, yang penting jumlahnya,” kata Abunawas sambil membuka bambu kuning yang telah diisi dengan ribuan semut merah.
“Jumlahnya sangat banyak Baginda, mungkin ribuan, kami tak sanggup menghitungnya lagi,” kata pengawal kerajaan yang menghitung jumlah semut itu.
Melihat kenyataan itu, Abu Jahil tiba-tiba saja jatuh pingsan. Baginda Raja tertawa terpingkal-pingkal dan langsung memberi hadiah kepada Abunawas. Kecerdikan dan ketulusan hati pasti bisa mengalahkan kelicikan.
Abu Nawas Paling Kaya Raya
Sebagai rakyat kecil, Abu Nawas sering menyelipkan kritikan-kritikan lewat humor-humornya yang jenaka sehingga meski mengena, raja tetapi tak bisa marah dibuatnya. Seperti dalam kisah ini, pasar tempat orang berdagang menjadi heboh gara-gara celotehan Abu Nawas. “Kawan-kawan, hari ini saya sangat membenci perkara yang haq, tetapi menyenangi yang fitnah. Hari ini saya menjadi orang yang paling kaya, bahkan lebih kaya daripada Allah SWT,” ujar Abu Nawas.
Omongan Abu Nawas itu sungguh aneh karena selama ini dia termasuk orang yang alim dan taqwa meski suka jenaka. Karuan saja polisi kerajaan menangkap dan menghadapkannya kepada khalifah.
“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata begitu?” tanya khalifah.
“Benar, Tuan,” ujarnya santai.
“Mengapa kau berkata begitu, sudah kafirkah engkau?”
“Saya kira Khalifah-pun sama seperti saya. Khalifah pasti membenci perkara yang haq,” ujarnya.
“Gila benar engkau,” bentak khalifah mulai marah.
“Jangan keburu marah, Khalifah. Dengarkan dulu
keterangan saya,” kata Abu Nawas meredakan marah khalifah.
“Keterangan apa yang kau dakwahkan. Sebagai seorang muslim, aku harus membela yang haq, bukan malah membencinya, tahu?” ujar khalifah geram.
“Setiap ada orang membacakan talqin, saya selalu mendengar ucapan bahwa mati itu haq, begitu juga dengan neraka. Tidakkah khalifah juga membencinya seperti aku?” katanya.
“Cerdik pula kau ini,” ujar khalifah setelah mendengar penjelasan Abu Nawas.
“Tapi apa pula maksudmu kau menyenangi fitnah?” tanya khalifah menyelidik.
“Sebentar, Khalifah. Barangkali Anda lupa bahwa di dalam Al-Quran disebutkan bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Padahal Khalifah menyenangi harta dan anak-anak Khalifah seperti saya. Benar begitu, Khalifah?”
“Ya, memang begitu. Tapi mengapa kau mengatakan lebih kaya daripada Allah Yang Mahakaya itu?” tanya khalifah yang makin penasaran itu.
“Saya lebih kaya daripada Allah karena saya mempunyai anak, sedangkan Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,”
“Itu memang benar, tetapi apa maksudmu berkata begitu di tengah pasar sehingga membuat keonaran?” tanya khalifah tak habis mengerti.
“Dengan cara begini saya akan ditangkap dan dihadapkan pada Khalifah,” jawabnya kalem.
“Apa perlunya kamu menghadapku?”
“Agar memperoleh hadiah dari Khalifah,” jawab Abu Nawas tegas.
“Dasar orang pintar,” komentar khalifah. Sidang yang semua tegang untuk mengadili Abu Nawas tersebut menjadi penuh gelak tawa. Tak lupa khalifah memberikan uang sebagai hadiah kepada Abu Nawas dan menyuruhnya meninggalkan istana. Ngeloyorlah Abu Nawas sambil menyimpan dinar di sakunya. “Alkhamdulillah, dapat rejeki,” gumamnya.
Baginda Minta Mahkota dari Surga



Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak. Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah.

Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ. Ia bertanya kepada ulama itu. "Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"

Ulama itu berpikir sejenak kemudian Ia berkata, "Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. Ia juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. Ia merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilingi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"


Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking indahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya.

Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana. Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil:

"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu. "Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat.

Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat terlebih dahulu." Mendengar penjelasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,

"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar