Nashrudin Hoja & Abu Nawas
A. Nashrudin Hoja
Nashrudin Hoja merupakan tokoh kocak
pada kisah sufistik yang dikenal di seluruh dunia, terutama di negara-negara
berpenduduk Muslim. Setiap kisah selalu menampilakannya dalam kondisi yang
berbeda-beda melalui ide dan cara pandang humoris dan mengekspos komentar
berani namun kocak dan penuh dengan hidup. Yang paling menarik dari
cerita-cerita tokoh ini adalah meski lucu namun sarat dengan makna filosofis,
sufistik; menggelitik nalar dan hati nurani.
Menurut berbagai sumber, sufi yang hidup
di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan
Bangsa Mongol ini merupakan seorang filosof yang bijak dan penuh dengan cita
rasa humor. Kisah-kisah Nasrudin telah dikenal hampir di seluruh belahan dunia.
Tentu saja, seluruh kisah tentang Hoja dengan rentang waktu lebih dari 7 abad,
tidak semua asli darinya. Kebanyakan merupakan produk budaya humor secara
kolektif bukan hanya dari Budaya Turki tapi juga dari masyarakat Islam lainnya.
Meski begitu dikenal, Hoja merupakan tokoh yang masih diperdebatkan keberdaanya
antara fiktif dan sejarah. Banyak teori tentang biografinya, namun sayangnya
belum cukup memberikan data yang valid.
Sejak Abad ke-16, tokoh ini semakin
populer karena ia menawarkan alternatif kepada masyarakat yang mulai bosan
terhadap segala hal sifatnya formal dan kaku. Kisah tentang Nashrudin Hoja pada
awalnya ditemukan dalam beberapa manuskrip pada awal abad ke-15. Cerita pertama
ditemukan dalam Ebu'l-Khayr-i Rumis
Saltuk-name (1480). Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Nashrudin merupakan
murid sufi dari Sayyid Mahmud Hayrani di Aksehir, barat laut Turki modern.
Pada abad ke-19, Mufti Sivrihisar, Husein
Efendi, menulis dalam Mecmua-i Maarif
bahwa Nashrudin lahir pada 1208 di desa Hortu (sekarang disebut Nasreddin Hoca
Koyu) bagian dari Sivrihisar dan meninggal 1284 di Aksehir, setelah hijrah ke
sana. Menurut sumber ini, Hoja belajar di Sivrihisar dan madrasah Konya. Hoja
belajar fiqh serta belajar tasawuf langsung
pada Maulana Jalaluddin ar-Rumi (1207-1273) di Konya. Kemudian Hoja mengikuti Sayyid
Mahmud Hayrani, sebagi guru sufi keduanya, hijrah ke Aksehir dan menikah di
sana.
Konon, Sewaktu masih muda, Nasrudin selalu
membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai
akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: “Kelak ketika engkau sudah dewasa, engkau
akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apapun kata-katamu, orang-orang
akan menertawaimu.” Ramalan pun menjadi kenyataan.
Di Aksehir, Hoja menjadi Imam dan Hakim.
Karena rasa humor yang tinggi dan ulasan-ulasanya yang cemerlang, ia menjadi
sangat tersohor dan terkemuka di kota itu.
Kisah-kisah Nasrudin Hoja dikenal di
seluruh Timur Tengah yang tentu kemudian diwarnai dengan budaya di mana cerita
itu berkembang. Yang jelas, kebanyakan kisah Nasrudin diceritakan sebagai kisah
lucu dan anekdot. Kisah-kisah ini tidak henti-hentinya diceritakan baik di
kafe, di tempat orang-orang berkumpul untuk ngobrol, serta di rumah sebagi
bahan cerita untuk anak. Meski begitu akrabnya kisah Hoja dengan masyarakat,
satu karakter yang tetap melekat pada kisah Hoja ini adalah inti yang
terkandung dari kisah lucu tersebut hanya orang-orang pada level inteletual
tertentu yang mampu memahaminya. Kisah-kisah lucu namun kaya akan pesan moral,
biasanya bahkan penuh dengan pesan-pesan spiritual yang mencerahkan dan tak
jarang juga memuat perilaku dan jalan menuju maqam makrifatullah. Karena
itulah, tak jarang kisah-kisah Hoja ini menjadi materi pengajian sufi.
Kisah-kisah Hoja juga sarat dengan
sindiran dan kritik yang cukup berani terhadap tirani dan kekuasan serta
ketimpangan sosial dan egoisme elit. Karena itulah, Nasrudin merupakan simbol
keberanian, penentangan, sarkastis, ironis, dan komedi kritis di Timur
Tengah.
Di Indonesia, kemasyhuran Nasrudin Hoja
hampir tidak kalah dengan Abu Nawas. Di tengah dahaga kaum Muslim Indonesia akan
nilai-nilai spiritual, beberapa buku yang memuat kisah-kisah Nasrudin Hoja pun
laris manis di pasaran.
Nashrudin Hoja adalah legenda dari masa kejayaan Islam
pada periode abad ke-13. Legendanya tersebar dari mulai Turki, Persia, sampai
ke pecahan negara-negara Soviet yang warganya banyak menganut Islam, seperti
Tajikistan atau Kazakhstan.
Ada banyak versi tentang asal kelahiran Nashrudin. Tapi
semua versi rata-rata memang mengiyakan kalau ia hidup di abad ke-13. Sumber
tertua tentang kehidupan Nashrudin ini termuat dalam buku terbitan tahun 1480
yang berjudul Saltukname.
Dalam buku itu disebutkan kalau Nashrudin di
Sivrihisar, salah satu kawasan di Turki, pada 1208. Dari situ ia berkelana ke
banyak tempat sampai akhirnya ia wafat pada 1284. Ada yang menyebutkan ia wafat
di Konya, kota penting dalam tradisi sufisme dan mistisme Islam, karena di
sanalah Jalaluddin Rumi membangun dan mendirikan thariqah Maulawiyah, yang
terkenal dengan tarian sama’nya yang
berputar-putar (dengan kedua tangan merentang ke samping, satu telapak tangan
menghadap ke atas, satu telapak tengan menghadap ke bawah).
Hoja yang ada di belakang nama Nashrudin sendiri
kurang lebih berarti teacher atau scholar. Sedemikian populernya
karakter Nashrudin, sampai-sampai di Turki pada setiap bulan Juli digelar
“International Nashrudin Hoja Festival”. Pada 1996-1997, UNESCO pernah
mendeklarasikan tahun itu sebagai “International Nasruddin Year”.
Kisah-kisah Nashrudin yang kita baca dan kita dengar
kemungkinan diambil dari kompilasi kisah-kisah yang dikumpulkan penulis
Afghanistan, Idris Shah, yang sempat menerbitkan tiga volume buku tentang
kisah-kisahnya.
Paulo Coelho, dari wawancaranya di New York Book
Review beberapa tahun lalu, menyebut Nashrudin sebagai “Si Bijak dari Timur”.
Bagi kalangan Islam, terutama mereka yang aktif
sebagai penghayat sufisme dalam pelbagai thareqah, kisah-kisah Nashrudin sering
digunakan sebagai alegori dalam pengajaran-pengajaran sufisme. Salah satu ciri
dari pengajaran sufisme memang terletak pada –selain menekankan pada laku alias
praktik– penyampaian-penyampaian nilai-nilai agama melalui kisah, anekdot,
alegori, fabel dan yang sejenisnya, ketimbang menggunakan teori-teori al-Falasifa
yang dikembangkan para failasuf.
B. Abu Nawas
Riwayat Abu Nawas/Abu Nuwas ini jauh lebih seru
daripada Nashrudin. Yang mengherankan, kenapa Abu Nawas dikesankan sebagai
seorang yang cenderung konyol, orang bijak yang senang bermain-main atau
memain-mainkan nasehat, atau guru sufi yang “sangat saleh” atau yang
sejenisnya. Lebih dari sekadar itu, ia adalah seorang pemberontak pada masanya,
mungkin seperti Marquis de Sade pada era Napoleon yang bengalnya ga ketulungan
(kata “sado” –yang berarti “sadis”– dalam frase sado-masokis diambil
dari namanya).
Abu Nawas memang bisa ditemukan dalam salah satu versi
cerita “1001 Malam”. Perlu diingat, kisah 1001 Malam itu ditulis tidak sekali
jadi, bahkan plot awalnya dipercaya sudah muncul sejak masa pra-Islam.
Selanjutnya, kisah itu berkembang sedemikian rupa, di banyak wilayah, dengan
melibatkan banyak penulis dan pujangga, dengan versi yang juga beragam. Nah,
Abu Nawas masuk dalam salah satu versi itu.
Tapi menganggap Abu Nawas sebagai tokoh fiksi jelas keliru.
Abu Nawas adalah sosok historis, benar-benar ada, pernah hidup. Ia diperkirakan
lahir pada pertengahan abad ke-8, antara tahun 740 sampai 760-an, kira-kira
seabad setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Ayahnya anggota tentara Marwan II, angkatan perang
terakhir Umayah, berdarah Arab, sementara ibunya berasal dari Persia. Arab dan
Persia merupakan dua kebudayaan besar yang punya tradisi susastra yang kuat dan
panjang, sehingga –tidak bisa tidak– Tuhan pun harus menurunkan al-Qur’an
dengan capaian nilai sastra yang adiluhung, sebab jika tidak, al-Qur’an akan
dengan mudah dilecehkan sebagai tak lebih dari syair picisan.
Dalam situasi itulah Abu Nawas tumbuh dengan minat
yang besar dalam bidang bahasa dan sastra. Ketika menetap di Baghdad, ia sudah
matang sebagai penyair dan cendekiawan. Kisah-kisah di mana Abu Nawas yang
sering berdialog atau ngerjain sultan, kemungkinan terjadi di Baghdad ini,
karena ia dipercaya memang akrab dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, atau bahkan
dianggap sebagai penyair kesayangan Khalifah.
Sutardji Calzoum Bachri yang dulu demen mabok pas baca
puisi, bisa dibilang ndak ada apa-apanya dibandingkan dengan Abu Nawas. Abu
Nawas dikenal sebagai penyair yang senang mabok, pesta-pora dengan anggur dan khamr.
Salah satu kisah legendaris menyebut Abu Nawas pernah
kedapatan tepar di jalan raya tepat saat Khalifah lewat bersama salah satu
istrinya. Ini membuat Khalifah malu bukan kepalang karena penyair kesayangannya
bertingkah gila-gilaan macam itu. Biar bagaimana pun, pada saat itu, juga hingga
sekarang, khamr memang dilarang dalam standar kode hukum Islam.
Nah, di situlah salah satu lapis kehidupan Abu Nawas
yang tak banyak diketahui orang. Kehidupan Abu Nawas dan puisi-puisinya penuh
dengan perayaan hidup yang untuk masanya bisa dianggap hedonis. Ia senang
mabuk-mabukan. Bukan hanya itu, ia juga salah seorang yang dianggap
menganjurkan perayaan seksual, termasuk hubungan sejenis kelamin.
Ada banyak riwayat yang mengisahkan kisah cinta Abu
Nawas dengan beberapa anak lelaki. Semua itu banyak ditemukan dalam
puisi-puisinya. Dalam buku puisi Perfumed Garden karangannya, mudah
sekali ditemukan nuansa-nuansa yang menggambarkan hubungan seksual, termasuk
hubungan sejenis.
Dari esai Javad Nurbhaks di jurnal Kalam,
mungkin Abu Nawas adalah penyair Arab pertama yang sudah menyebut masturbasi
dalam puisi-puisinya. Tapi ini pasti satu tradisi yang sudah panjang, karena
bahkan Yesus dari Nazareth pun minum anggur pada saat perjamuan terakhir dan
anggur (bukan tradisi penyimpangan seksualnya) juga menjadi salah satu komponen
penting dalam sejumlah ritual ibadah umat Nasrani.
Tidak mengherankan, saat rezim berganti, ia pun
akhirnya mengalami pengasingan. Bukan hanya Khalifah yang baru tidak senang
padanya, tapi saudaranya juga ada yang jengah dengan keliaran hidup seorang Abu
Nawas.
Khamr dan hubungan intim sejenis sebenarnya bukan tema yang
asing. Sudah biasa dalam tradisi sufi, anggur menjadi bagian tak terpisahkan.
Anggur dianggap sebagai alegori dari kenikmatan penyatuan dengan yang serba
surgawi. Jalaluddin Rumi itu senang sekali dengan anggur. Anggur bertaburan
dalam puisi panjangnya yang dahsyat dan terkenal itu, al-Mastnawi
Sudah sangat biasa pula para sufi luntang-lantung
dengan murid-murid laki-lakinya. Rumi lagi-lagi jadi kisah paling ilustratif
tentang ini. Hubungannya dengan tiga guru utamanya, terutama guru pertamanya
yaitu Syams dari Tabriz, sangatlah intim. Sampai-sampai, saat Syams menghilang
dari Konya, Rumi benar-benar patah hati, kerjaannya cuma nyanyi-nyanyi dan
menari-nari di jalanan Konya. Ia ndak mau ngajar murid-muridnya yang lain. Saat
Syams kembali, pulihlah normalistas kehidupan Rumi. Saat Rumi sedang
mengerjakan karya agung al-Matsnawi, Rumi saat itu sudah ditinggal Syams
kembali berkelana dan “berguru” pada Hisyamuddin. Saat Hisyamuddin kembali ke
kampungnya selama beberapa waktu, Rumi tiba-tiba jadi stuck dan ndak
bisa menulis al-Mastnawi lagi.
Salah satu penyair Arab yang terpengaruhi oleh Abu
Nawas adalah Omar Khayam, yang berhasil mempopulerkan genre puisi rubayyat
yang pada masanya dianggap syair-syair picisan. Jika merujuk novel sejarah
tentang Khayam yang ditulis Amin Maalouf (sudah diterjemahkan oleh penerbit
Serambi), di situ Khayam seperti Abu Nawas, seorang cendekiawan dan penyair
yang free thinker, senang minum anggur, dan menjalin kisah asmara nan
menggelora dengan –kali ini normal– seorang perempuan di luar pernikahan.
Siapakah Abu Nawas?
Ilaahii lastu lilfirdausi ahlan # Walaa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi...
Fahab lii tawbatan waghfir dzunuubii # Fainnaka ghaafirudzdzanbil adziimi...
“Tuhanku, hamba tidaklah
pantas menjadi penghuni surga (Firdaus) # Namun, hamba juga tidak kuat menahan
panasnya api neraka...
Maka berilah
hamba taubat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba # Karena sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosan yang besar...”
Dua
bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia
terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Shubuh,
jamaah di masjid-masjid atau mushalla di pedesaan biasanya mendendangkan syair
tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah
hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra
Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.
Bagi
masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas (Bahasa Arab:ابونواس)
juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian
dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip
dengan Nashrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus
penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Selain
cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair,
mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari
hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang
sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat
spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamr, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair
sufi yang tiada banding.
Nama
asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada
145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah
dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam,
merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban,
wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah
yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas
belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa
mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai
tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya
juga sarat dengan nilai spiritual, disamping cita rasa kemanusiaan dan
keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu
Ubaidah. Ia juga belajar al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam
Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya
bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman.
Pertemuannya
dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya
bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik
pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di
pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan
memperhalus bahasa Arab.
Kemudian
ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul
dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat
berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para
bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja
dan menjilat penguasa.
Dalam
Al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan
sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan
tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya
justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang
yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik
perhatian Khalifah Harun ar-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wausuli,
Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).
Sikapnya
yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna.
Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi
legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan
juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas
membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu
saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari
Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad
setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir
dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami.
Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun ar-Rasyid meninggal dan
digantikan oleh al-Amin.
Sejak
mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika
sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan
hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas
merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan
rasa spiritual yang dalam.
Memang,
pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat.
Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan.
Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski
dekat dengan Sultan Harun ar-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam
kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan –tetapi yang justru
membawa keberkahan tersendiri.
Seorang
sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin
Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan
ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang
sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai
tahun meninggalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan
tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang
lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena
dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Naubakhti –yang menaruh
dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Sejumlah
puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak
dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di
Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301
H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan
di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah
satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menjelang sakaratul mautnya.
Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang
lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas
dapat menolak dan mengatakan: “Tuhan,
kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan
lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama.”
Tentu
ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri
kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam
lelucon dan tawa.
Refferensi:
·
Diwan Abu Nuwas
·
Al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa
Tarikhihi
·
Kisah-kisah
Sufi, Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau,
Idries Shah.
·
Dari esai Javad Nurbhaks di jurnal Kalam
·
Buku puisi Perfumed Garden
·
Mecmua-i
Maarif, Mufti Sivrihisar Husein Efendi
·
Buku Kisah “1001
Malam”
·
Buku
Classic Saltukname (Ebu'l-Khayr-i
Rumis Saltuk-name)
·
http://www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar