Siapakah Sebenarnya Abu Nuwas (Abu Nawas)?
Harun Al Rasyid dan Abu Nuwas (Abu Nawas)
Konon pada zaman Khalifah Harun Al Rasyid –salah satu khalifah Daulah Bani Abbasiyyah– hiduplah seorang pujangga yang bernama Abu Nuwas (Abu Nawas).
Khalifah mempunya hubungan dekat dengan Abu Nuwas ini, sedangkan Abu
Nuwas adalah seorang yang suka meminum minuman keras, bermain dengan
wanita, mendengarkan musik, berjoget, dan berdansa, serta perbuatan lain
semisalnya, sehingga khalifah pun banyak melakukan itu semua karena
kedekatannya dengan Abu Nuwas.
Kemasyhuran Kisah Ini
Kisah ini sangat masyhur di negeri nusantara dan mungkin juga di
berbagai belahan bumi Islam lainnya. Banyak komik yang ditulis, lalu
dikonsumsi oleh semua kalangan yang menggambarkan bagaimana bejatnya
perbuatan khalifah ini beserta teman karibnya Abu Nuwas. Sehingga kalau
disebut di kalangan orang banyak tentang Harun Al Rasyid, maka yang
terbetik dalam bayangan mereka adalah gambaran raja tanpa wibawa yang
suka main musik dan wanita diiringi dengan minum khamr (minuman
keras). Jarang sekali di antara kaum muslimin mengetahui siapa
sebenarnya Khalifah Harun Al Rasyid kecuali dari cerita yang beredar
ini.
Akar Cerita
Asal-usul utama cerita ini bersumber dari sebuah buku dongengg Alfu Lailatin wa Lailah
(cerita seribu satu malam). Buku ini dari lembar pertama sampai
terakhir hanyalah berisi dongengg. Dan yang namanya “dongengg” berarti
ia tidak punya asal-usul sanad yang terpercaya. Isinya pun hanyalah
khayalan belaka; misalnya, cerita tentang Ali Baba dengan perampok,
ksiah Aladin dengan lampu ajaibnya, begitu pula cerita tentang Abu Nuwas
dengan Harus Al Rasyid.
Buku ini asal-usulnya adalah dongeng yang berasal dari bangsa India
dan Persia. Lalu dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad
ketiga Hijriah. Kemudian ada yang menambahi beberapa ceritanya sehingga
sampai masa Daulah Mamalik.
Buku ini sama sekali bukan buku sejarah, dan sama sekali tidak bisa menjadi landasan untuk mengetahui keadaan umat tertentu.
Oleh karena itu, para ulama sepakat untuk men-tahdzir
(memperingatkan) atas buku ini dan melarang umat untuk membaca dan
menjadikannya sebagai landasan sejarah. Di antara mereka adalah
Al-Ustadz Anwar Al Jundi yang berkata, “Buku Alfu Lailatin wa Lailah
adalah sebuah buku yang campur baur tanpa penulis. Buku ini disusun
dalam rentang waktu yang bermacam-macam. Kebanyakan isinya menggambarkan
tentang keadaan sosial masyarakat sebelum kedatangan Islam di negeri
persia, India, dan berbagai negeri paganis lainnya.” Ibnu Nadim dalam Al-Fahrosat berkata tentang buku ini, “Itu adalah buku yang penuh dengan kedunguan dan kejelekan.”
Dan masih banyak lainnya. Silakan melihat apa yang dipaparkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam Kutubun Hadzdzara minha Ulama, 2:57.
Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya, “Sebagian buku sejarah terutama buku Alfu Lailatin wa Lailah menyebutkan bahwa Khalifah Harun Al Rasyid adalah seorang yang hanya dikenal sebagai orang yang suka bermain-main, minum khamr dan lainnya. Apakah ini benar?”
Beliau menjawab: “Ini adalah kedustaan dan tuduhan yang dihembuskan ke dalam sejarah Islam. Buku Alfu Lailatin wa Lailah
adalah sebuah buku yang tidak boleh dijadikan sandaran. Tidak
selayaknya seorang muslim menyia-nyiakan waktunya untuk menelaah buku
tersebut. Harun Al Rasyid dikenal sebagai orang yang Shalih dan
istiqomah dalam agamanya, serta sungguh-sungguh dan bagus dalam mengatur
masyarakatnya. Beliau satu tahun menunaikan haji dan tahun berikutnya
berjihad. Ini adalah sebuah kedustaan yang terdapat ke dalam buku ini.
Tidak layak bagi seorang muslim untuk membaca buku kecuali yang ada
faidahnya, seperti buku sejarah yang terpercaya, buku tafsir, hadis,
fiqih, dan aqidah yang dengannya seorang muslim akan bisa mengetahui
urusan agamanya. Adapun buku yang tidak berharga, tidak selayaknya
seorang muslim terutama penuntut ilmu menyia-nyiakan waktunya dengan
membaca buku seperti itu.” (Nur Ala Darb, Fatawa Syaikh Shalih Fauzan Hal. 29)
Hakikat Cerita Ini
Dari keterangan di atas, tiada lagi keraguan bahwa kisah tentang
Khalifah Harun Al Rasyid seperti yang digambarkan tadi adalah sebuah
kedustaan. Banyak sekali para ulama yang menyatakan bahwa itu adalah
sebuah kedustaan, di antara mereka ialah:
– Syaikh Shalih Fauzan, sebagaimana nukilan dari beliau di atas.
– Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, beliau berkata:
“Ini merupakan kedustaan yang jelas dan kezaliman yang nyata…” (Fatawa Islamiyyah, 4:187)
– Syaikah Salim bin Id Al-Hilali berkata, “Kita harus
membersihkan sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para
pemalsu dan pendusta beserta cucu-cucu mereka bahwa sejarah Islam
merupakan panggung anak kecil, musik, dan nyanyian. (Mereka gambarkan)
para khalifah kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh para perusak
tersebut dalam menodai sejarah Khalifah Harun Al Rasyid dan yang lain.”
(Al-Jama’at Islamiyyah, Hal. 430)
Atas dasar ini, maka alangkah baiknya kalau kita sedikit mengetahui
perjalanan hidup kedua orang ini, agar kita bisa mengetahui siapa
sebenarnya Abu Nuwas juga siapa dan bagaimana sebenarnya Khalifah Harun
Al Rasyid.
Siapakah Abu Nuwas (Abu Nawas)?
Dia adalah Abu Ali Hasan bin Hani’ al-Hakami, seorang penyair yang sangat masyhur pada zaman Bani Abbasiyyah.
Kepiawaiannya dalam menggubah qoshidah syair membuat dia sangat
terkenal di berbagai kalangan, sehingga dia dianggap sebagai pemimpin
para penyair di zamannya.
Namun amat disayangkan, perjalanan hidupnya banyak diwarnai dengan
kemaksiatan, dan itu banyak juga mewarnai syair-syairnya. Sehingga
saking banyaknya dia berbicara tentang masalah khamr, sampai-sampai kumpulan syairnya ada yang disebut khamriyyat.
Abu Amr Asy-Syaibani berkata, “Seandainya Abu Nuwas tidak mengotori
syairnya dengan kotoran-kotoran ini, niscaya syairnya akan kami jadikan
hujjah dalam buku-buku kami.”
Bahkan sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai orang yang zindiq
meskipun pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama. Di antara
yang tidak menyetujui sebutan zindiq ini untuk Abu Nuwas adalah Imam
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (14:73),
ketika menyimpulkan tentang kehidupan Abu Nuwas beliau berkata,
“Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan peristiwa
kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar,
penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr,
kekejian, suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita
sangat banyak dan keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina.
Di antara mereka juga ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq.
Di antara mereka ada yang berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’ Hanya
saja, yang tepat bahwa dia hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang
pertama saja, adapun tuduhan sebgian orang yang zindiq, maka itu sangat
jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia memang banyak melakukan
kemaksiatan dan kekejian.”
Akan tetapi, walau bagaimanapun juga disebutkan dalam buku-buku
sejarah bahwa dia bertaubat di akhir hayatnya; semoga memang demikian
dan menunjukkan taubatnya adalah sebuah syair yang ditulisnya menjelang
wafat:
Ya Allah, jika dosaku teramat sangat banyak
namun saya tahu bahwa pintu maaf-Mu lebih besar
Saya berdoa kepada-Mu dengan penuh tadharru’ sebagaimama Engkau perintahkan
Lalu jika Engkau menolak tangan permohonanku, lalu siapa yang akan merahmati-ku
Jika yang memohon kepada-Mu hanya orang yang baik-baik saja
Lalu kepada siapakah orang yang jahat akan memohon
Saya tidak mempunyai wasilah kepada-Mu kecuali hanya sebuah pengharapan
Juga bagusnya pintu maaf-Mu kemudian saya pun seorang yang muslim
Semoga Allah menerima taubatnya dan memaafkan kesalahannya, karena
bagaimanapun juga dia mengakhiri hidupnya dengan taubat kepada Allah.
Dan semoga kisah yang diceritakan oleh Ibnu Khalikan dalam Wafyatul-A’yan
2:102 benar adanya dan menjadi kenyataan. Beliau menceritakan dari
Muhammad bin Nafi berkata, “Abu Nuwas adalah temanku, namun terjadi
sesuatu yang menyebabkan antara aku dengan dia tidak saling berhubungan
sampai aku mendengar berita kematiannya. Pada suatu malam aku bermimpi
bertemu dengannya, kukatakan, ‘Wahai Abu Nuwas, apa balasan Allah
terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Allah mengampuni dosaku karena beberapa bait
syair yang kututlis saat aku sakit sebelum wafat, syair itu berada di
bawah bantalku.’ Maka saya pun mendatangi keluarganya dan menanyakan
bantal tidurnya dan akhirnya kutemukan secarik kertas yang bertuliskan: …
(lalu beliau menyebutkan bait syair di atas).”
Setelah mengetahui sekelumit tentang Abu Nuwas, marilah kita beranjak
utuk membahas siapakah sebenarnya Khalifah Harun Al Rasyid.
Beliau adalah Amirul-Mukminin Harun Al Rasyid bin Mahdi al-Qurasyi
al-Hasyimi. Beliau adalah salah satu Khalifah Bani Abbasiyyah, bahkan
pada masa beliaulah Bani Abbasiyyah mencapai zaman keemasannya.
Beliau dikenal sebagai raja yang dekat dengan ulama, menghormati
ilmu, dan banyak beribadah serta berjihad. Disebutkan dalam berbagai
buku sejarah yang terpercaya bahwa beliau selalu berhaji pada suatu
tahun dan tahun berikutnya berjihad, begitulah seterusnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Perjalanan hidup beliau sangat bagus.
(Beliau) seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah
haji. Setiap hari beliau bershodaqoh dengan hartanya sendiri sebanyak
seribu dirham. Kalau pergi haji beliau juga menghajikan seratus ulama
dan anak-anak mereka, dan apabila beliau tidak pergi haji, maka beliau
menghajikan tiga ratus orang. Beliau suka sekali bershodaqoh. Beliau
mencintai para ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan kalimat La ilaha ilallah,
beliau mengerjakan shalat setiap harinya seratus rakaat sampai
meninggal dunia. Hal ini tidak pernah beliau tinggalkan kecuali kalau
sedang sekit.” (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 14:28)
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ammar bin Laits al-Wasithi berkata, ‘Saya
mendengar Fudhail bin Iyadh berkata, ‘Tidak ada kematian seorang pun
yang lebih memukul diriku melebihi kematian Amirul-Mukminin Harun Al
Rasyid. Sungguh saya ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa
umurku.’ Ammar berkata, ‘Perkataan beliau ini terasa berat bagi kami,
namun tatkala Harun telah meninggal dunia, muncullah fitnah, khalifah
setelahnya yaitu Al-Makmun memaksa orang-orang untuk meyakini bahwa
Alquran makhluk. Saat itu kami mengatakan, ‘Syaikh (Fudhail) lebih
mengetahui tentang apa yang beliau katakan’.”
Beliau sangat keras terhadap orang yang menyimpang dari sunah dan
berusaha menentangnya. Pada suatu ketika Abu Mu’awiyah menceritakan
kepada beliau sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi Adam dan Musa
berdebat, maka paman Khalifah Harun Al Rasyid berkata, “Wahai Abu
Mu’awiyyah, kapan keduanya bertemu?” Maka Khalifah sangat marah seraya
berkata, “Apakah engkau menentang hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ambilkan sebilah pedang dan tempat pemotongan kepala.” Maka segeralah
yang beliau minta itu didatangkan. Orang-orang yang hadir saat itu pun
memintakan maaf untuk paman beliau tersebut. Berkatalah Harun Al Rasyid,
“Ini adalah perbuatan zindiq.” Akhirnya beliau memerintahkan untuk
memenjarakannya. Sebagian orang juga pernah bercerita, “Saya masuk
menemui Harun Al Rasyid dan saat itu ada seseorang yang barusan
dipenggal kepalanya dan algojo sedang membersihkan pedangnya. Maka Haru
Al Rasyid berkata, ‘Saya membunuhnya karena dia berkata bahwa Alquran
itu makhluk’.”
Beliau sangat mencintai nasihat yang mengingatkan diri pada hari
akhirat. Al-Ashma’i berkata, “Pada satu hari Harun Al Rasyid
memanggilku. Saat itu dia menghiasi istana, membuat hidangan yang banyak
dan lezat, lalu dia memanggil Abu Al-Atahiyyah, lalu Harun berkata
kepadanya, “Sifatilah kenikmatan dan kesenangan hidup kami.” Maka Abu Al
Athiyah menyenandungkan sebuah syair:
Hiduplah semaumu
Di bawah naungan istana nan megahmu
Engkau berusaha mendapatkan apa yang engkau senangi
Baik pada waktu sore maupun pagi
Namun, apabila jiwa tersengal-sengal
Karena sempitnya pernapasan dalam dada
Saat itu berulah engkau tau
Bahwa selama ini engkau sedang tertipu
Harun Al Rasyid pun langsung menangis sejadi-jadinya, sehingga Fadhi
bin Yahya berkata, “Amirul-Mukminin memanggilmu agar engkau bisa
membuatnya senang, tetapi engkau malah membuatnya susah.” Maka Harun Al
Rasyid berkata, “Biarkan dia, dia melihat kita sedang kebutaan dan dia
tidak ingin kita semakin buta.”
Suatu saat lainnya, Harun Al Rasyid memanggil Abu Al Atahiyyah lalu
berkata, “Nasihatilah saya dengan sebuah bait syair.” Maka Abu Al
Athiyah berkata,
Jangan engkau merasa aman dari kematian sekejap mata pun
Meski engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti tepat sasaran
Meski bagi yang membentengi diri darinya
Engkau ingin selamat namun tidak mau mengikuti jalannya
Bukankan sebuah bahtera tidak akan mungkin berlayar di jalan raya
Begitu mendengarnya, Harun Al Rasyid pun langsung jatuh pingsan.
Inilah sekilas tentang kehidupan Khalifah Harun Al Rasyid meskipun
kita mengakui bahwa sebagai manusia biasa beliau pun banyak memiliki
cacat dan kemaksiatan. Namun keutamaan dan kebaikan beliau jauh melebihi
cacat yang beliau kerjakan. Sampai-sampai Syaikh Abu Syauqi Khalil
menulis buku berjudul Harun Al Rasyid Amirul-Khulafa wa Ajallu Mulukid-Dunya
(Harun Al Rasyid Pemimpin Para Khalifah dan Raja Dunia Teragung) yang
mana buku ini banyak dipuji oleh Syaikh Masyhur Salman dalam beberapa
tempat di dalam buku Kutubun Hadzdzara minha Ulama.
(Lihat tentang kehidupan Harun Al Rasyid dengan agak terperinci pada Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 14:27-48, Siyar A’lamin Nubala, 8:163-188)
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 5 Tahun Ke-8 1429H/2008 M
Artikel www.KisahMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar